Di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini, kekayaan justru menjadi kutukan bagi banyak daerah. Hutan yang dahulu menjadi penyangga kehidupan kini tinggal jejak di peta. Sungai yang dulunya jernih kini mengalirkan limbah. Dan tanah yang seharusnya subur, kini penuh lubang dan racun. Semua itu adalah jejak tambang ilegal yang dibiarkan—atau sengaja dipelihara—sebagai bagian dari jaringan ekonomi gelap yang merampas hak rakyat dan masa depan negeri.
Tambang Ilegal: Kejahatan Ekonomi dan Ekologis
Secara sederhana, tambang ilegal adalah aktivitas pertambangan yang tidak memiliki izin sah dari negara. Tapi dalam praktiknya, ini lebih dari sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah kejahatan ekonomi dan ekologis sekaligus. Tambang ilegal menyedot sumber daya bernilai tinggi seperti emas, nikel, batubara, dan timah tanpa menyumbang sepeser pun pada kas negara. Tidak ada royalti, tidak ada pajak, tidak ada kontribusi resmi.
Menurut laporan dari berbagai sumber, termasuk BPK dan KPK, potensi kerugian negara akibat tambang ilegal bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah tiap tahun. Bayangkan, dengan angka sebesar itu, kita bisa membangun ribuan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik di daerah tertinggal. Tapi hari ini, justru daerah-daerah penghasil tambang adalah yang paling menderita.
Kerusakan yang Nyata, Keuntungan yang Semu
Tambang ilegal bukan hanya merampok harta, tapi juga merusak habitat kehidupan. Di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua, kita melihat bagaimana kerusakan ekologis akibat tambang liar menimbulkan bencana jangka panjang. Lubang bekas tambang dibiarkan menganga, menciptakan kubangan kematian bagi anak-anak yang bermain. Sungai yang tercemar logam berat mengalir ke sawah, ke perut manusia, lalu ke rumah sakit.
Lebih dari itu, tambang ilegal juga merusak tatanan sosial. Di banyak daerah, muncul konflik horizontal antara kelompok masyarakat, antara penduduk asli dengan pendatang, bahkan antara sesama warga yang berbeda kepentingan tambang. Keadilan sosial dan kearifan lokal hancur perlahan-lahan.
Simbol Kegagalan Negara
Ketika tambang ilegal dibiarkan, atau lebih buruk lagi—dilindungi oleh oknum aparat dan penguasa lokal—maka sesungguhnya negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, dalam praktiknya, tambang ilegal justru menjadi simbol terbalik dari itu semua. Ia hanya memperkaya segelintir orang yang kebal hukum, sementara masyarakat sekitar hanya kebagian debu, limbah, dan konflik. Kita perlu menyebut ini dengan jelas: ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang terus dibiarkan.
Keadilan yang Dibajak Kuasa
Dalam berbagai kasus, kita melihat betapa hukum bisa sangat cepat menindak masyarakat kecil yang menambang secara tradisional. Mereka ditangkap, disidang, dan dihukum. Tapi pada saat yang sama, kita melihat tambang berskala besar tanpa izin, lengkap dengan ekskavator dan jalur distribusi ekspor, terus beroperasi tanpa hambatan.
Di sinilah kita bertanya: di mana keadilan? Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka hukum telah kehilangan wibawa dan moralitasnya.
Tantangan Kita: Menata Ulang Arah Pertambangan
Kita tidak anti tambang. Saya, dan banyak pegiat lingkungan serta aktivis sosial lain, percaya bahwa pertambangan bisa menjadi alat kemakmuran jika dijalankan secara legal, transparan, dan berkelanjutan. Pertambangan yang berbasis pada prinsip tata kelola yang baik, melibatkan masyarakat, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, adalah keniscayaan bagi masa depan.
Yang kita tolak adalah praktik liar, yang merusak dan melanggar hukum. Yang kita soroti adalah kebisuan aparat, kelambanan pemerintah, dan pembiaran sistemik terhadap praktik tambang ilegal.
Sudah waktunya kita menata ulang arah pembangunan. Sektor tambang harus dikembalikan menjadi milik rakyat, bukan segelintir elite pemilik modal. Penindakan hukum harus ditegakkan tanpa tebang pilih. Kewajiban reklamasi dan rehabilitasi harus dipenuhi. Dan yang paling penting, kita harus memulihkan kepercayaan masyarakat bahwa negara berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan.
Luka yang Tak Boleh Dinormalisasi
Tambang ilegal bukan sekadar isu teknis. Ia adalah cermin dari rusaknya tata kelola sumber daya alam kita. Jika kita membiarkan tambang ilegal terus berjalan, maka kita sedang menormalisasi perampokan, membiarkan bumi luka, dan menulis sejarah kelam bagi anak cucu kita.
Kita tak boleh membiarkan hal ini menjadi kebiasaan. Karena ketika kejahatan dibiarkan, maka ia bukan lagi sekadar pelanggaran hukum—tetapi kegagalan moral kolektif kita sebagai bangsa. Catatan Penulis















