banner 970x250

Adat, Adab, dan Amanah: Jalan Tengah Kepemimpinan di Tengah Gempuran Zaman

Oleh: Arham MSi Petta La Palellung - Dewan Majelis Tinggi PERWIRA NUSANTARA

banner 728x90
banner 728x90

Di banyak daerah di Nusantara, adat masih hidup. Ia bukan sekadar upacara seremonial atau simbol kebesaran masa lalu, tapi sistem nilai yang membentuk cara pandang, cara merasa, dan cara hidup masyarakat. Adat mengatur tata laku sosial, menjaga marwah, dan membingkai peradaban lokal. Sementara itu, Islam hadir sebagai cahaya langit: menguatkan, menyempurnakan, dan mengarahkan nilai-nilai luhur itu ke jalan yang diridhai Tuhan.

Sayangnya, dalam era kepemimpinan modern, banyak pemegang kuasa yang lahir tanpa akar. Mereka memimpin tanah yang tidak mereka kenal ruhnya, membangun sistem tanpa menyentuh jantung kebudayaannya. Tak sedikit pemimpin yang tidak tahu bagaimana menyapa tokoh adat, tidak paham makna bahasa isyarat dalam pertemuan lembaga adat, bahkan merasa adat hanyalah penghambat kemajuan.

banner 325x300

Padahal, adat dan adab bukan lawan dari modernitas. Ia adalah fondasinya. Tanpa keduanya, yang lahir hanya kekuasaan tanpa arah dan kebijakan tanpa roh. Apalagi jika kekuasaan itu tak dibingkai oleh amanah syariat—maka terjadilah yang kini banyak kita saksikan: kepemimpinan yang kehilangan akhlak, pemerintahan yang jauh dari keberkahan.

Kita perlu kembali menegaskan bahwa adat adalah penopang moral publik. Ia hadir untuk membentuk keteraturan sosial berbasis nilai. Sementara adab adalah wujud personal dari nilai itu: sopan santun, tanggung jawab, keberanian menjaga marwah. Dan dalam Islam, kedua hal ini sangat dimuliakan. Rasulullah SAW tidak hanya diutus membawa syariat, tapi juga menyempurnakan akhlak manusia.

Kepemimpinan ideal adalah kepemimpinan yang mampu merajut tiga sulur utama: adat, adab, dan amanah. Tanpa adat, pemimpin kehilangan pijakan lokal. Tanpa adab, ia kehilangan arah moral. Tanpa amanah syariat, ia kehilangan keberkahan.

Ini penting disuarakan, terutama di tengah gempuran narasi globalisasi yang seringkali mengikis identitas. Kita melihat banyak pemimpin yang lebih fasih bicara bahasa digital dibanding bahasa lokal. Lebih akrab dengan model-model tata kelola luar negeri daripada menghargai lembaga adat di tanahnya sendiri. Bahkan ada pula yang tidak lagi menganggap penting izin moral dari para tetua adat ketika akan memulai pembangunan.

Sebagai anak negeri, saya percaya: adat yang diselaraskan dengan adab dan dibingkai oleh Islam akan melahirkan peradaban baru. Peradaban yang berakar kuat dan menjulang tinggi. Di sinilah kita butuh lebih banyak pemimpin yang tidak hanya cerdas secara teknokratis, tapi juga memahami ruh budaya, menghormati tata nilai leluhur, dan takut pada Allah dalam setiap kebijakan yang ia tanda tangani.

Karena sejatinya, memimpin adalah menjaga. Menjaga nilai. Menjaga martabat. Menjaga amanah dari rakyat dan dari langit.

Dan selama adat masih hidup di tanah ini, kita punya harapan: bahwa Indonesia bisa bangkit, bukan dengan meninggalkan akar, tapi justru dengan kembali pada akarnya. Catatan Petta Lellung

banner 325x300
banner 325x300