banner 970x250

Hitam Putih Politik

Refleksi & Opini, oleh: Arham MSi La Palellung

banner 728x90
banner 728x90

“Politik itu mulia, sampai manusia mencemarinya dengan nafsu. Ia seharusnya menjadi jalan cahaya, bukan lorong gelap yang dipenuhi tipu daya.”

Mengapa kita sebut “hitam putih” politik? Karena pada dasarnya, politik itu putih. Ia lahir dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang butuh mengatur, membangun, dan saling peduli. Politik adalah seni dan ilmu dalam mengelola kepentingan bersama, menciptakan tatanan, memperjuangkan kesejahteraan, dan menjaga keadilan. Ia seharusnya bersih, terang, dan suci. Namun dalam praktiknya, banyak politikuslah yang kemudian mewarnainya dengan hitam: intrik, tipu daya, korupsi, pengkhianatan, dan manipulasi.

banner 325x300

Kita hidup dalam zaman ketika politik begitu menentukan wajah masa depan bangsa dan daerah. Kebijakan yang diambil oleh para pemegang kekuasaan dapat menentukan nasib pendidikan, kesehatan, keamanan, bahkan harga kebutuhan pokok. Politik mempengaruhi arah pembangunan, arah hukum, arah anggaran, dan bahkan arah akal sehat publik. Maka tak berlebihan jika dikatakan: politik bukan hanya urusan kursi kekuasaan, tapi urusan hidup banyak orang.

Ironisnya, karena politik sering dipenuhi kepentingan dan permainan kekuasaan, banyak yang menjauhinya. Anak-anak muda enggan terlibat, orang-orang baik memilih diam, dan ruang-ruang diskusi publik menjadi kering dari suara kejujuran. Inilah saat ketika warna hitam makin mendominasi. Bukan karena putih tak ada, tapi karena putih enggan tampil.

Saya percaya, politik harus dikembalikan ke ruh awalnya: peduli. Peduli pada rakyat, pada keadilan, pada masa depan. Sejatinya, politik adalah instrumen besar untuk memperjuangkan nilai. Tapi ketika nilai ditinggalkan, maka yang tersisa hanyalah ambisi.

Dalam konteks daerah, politik juga menentukan siapa yang memimpin. Dan pemimpin bukan sekadar pengatur program, tapi penentu arah nilai. Ketika daerah dipimpin oleh mereka yang jujur, beradab, dan memahami adat istiadat, maka pembangunan akan membumi. Tapi ketika politik hanya menjadi alat dagang proyek dan rebutan kuasa, maka yang tumbuh bukan keadilan, tapi ketimpangan.

Begitu pula dengan dunia bisnis. Politik bisa menentukan nasib bisnis: lewat regulasi, akses, kemudahan, atau justru hambatan. Tapi sebaliknya, bisnis juga bisa mempengaruhi politik: lewat dana kampanye, jaringan kekuasaan, atau intervensi kebijakan. Di sinilah batas tipis antara etika dan kepentingan diuji. Ketika bisnis dan politik saling menguatkan dengan integritas, maka negara akan tumbuh. Tapi ketika keduanya saling menyandera demi keuntungan pribadi, maka rakyatlah yang jadi korban.

Dalam banyak pengamatan saya, justru mereka yang datang ke gelanggang politik dengan niat tulus dan idealisme bersih—gagal lolos. Mereka kalah oleh sistem yang sudah lama dikuasai oleh aktor-aktor yang siap bermain kotor. Suap, politik uang, manipulasi suara, dan pencitraan palsu menjadi jalan pintas menuju kekuasaan. Yang bersih tereliminasi, yang kotor terpilih. Ironi ini terus berulang, membuat rakyat makin sinis terhadap politik.

Kita tidak boleh pasrah membiarkan politik tetap gelap. Kita butuh lebih banyak anak muda yang berani mewarnai politik dengan putih. Kita butuh lebih banyak pengusaha yang tidak menjual idealismenya untuk sekadar mendapat proyek. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang sadar bahwa setiap tanda tangan kebijakan adalah tanggung jawab dunia dan akhirat.

Hitam dan putih akan selalu ada. Tapi tugas kita adalah memperbanyak putih, bukan sekadar mengutuk gelap. Karena sejatinya, politik yang baik adalah politik yang membawa terang: bukan hanya bagi elite, tapi untuk seluruh rakyat.

“Jika kita ingin bangsa ini bersih, maka orang-orang bersih harus berani masuk ke ruang-ruang yang kotor—bukan untuk ikut kotor, tapi untuk membersihkannya.” Catatan Bang AMSi La Palellung

banner 325x300
banner 325x300