“Jika kamu tidak punya malu, maka lakukanlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)
Saya memulai tulisan ini bukan dari ruang seminar atau panggung retorika politik, tapi dari kedalaman hati sebagai rakyat yang merasakan luka di balik diamnya para pemimpin yang mestinya peka. Di tengah hiruk-pikuk demokrasi yang katanya memberi ruang bagi aspirasi, justru kita menyaksikan fenomena menyakitkan: pemimpin yang kehilangan rasa malu.
Malu dalam Islam bukan sekadar ekspresi emosional. Ia adalah bagian dari iman. Ketika rasa malu dicabut dari jiwa pemimpin, maka hilanglah kontrol moral yang menahan tangan dari kezaliman, lidah dari kebohongan, dan hati dari kelalaian. Dan kita tahu, saat pemimpin tak lagi peduli kritik, bahkan terhadap jeritan masyarakat yang paling jujur sekalipun, sesungguhnya ia sedang menutup pintu-pintu perbaikan.
Kritik yang Diabaikan, Amanah yang Diingkari
Dalam negara yang menjunjung asas rakyat sebagai pemegang kedaulatan, mestinya setiap suara dari bawah menjadi petunjuk arah. Tapi kini yang sering terjadi justru sebaliknya, kritik dianggap gangguan, pengaduan rakyat ditertawakan, dan penguasa merasa cukup dengan pencitraan.
Kita patut bertanya: di mana letak amanah kepemimpinan jika yang dikedepankan hanyalah pembelaan diri, bukan pelayanan publik?
Kepemimpinan Tanpa Akhlak: Jalan Menuju Kegelapan
Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sayyidina Umar bin Khattab RA bahkan pernah berkata:
“Celakalah Umar jika ada seekor keledai yang terperosok di Irak, dan Allah menanyakan kenapa Umar tidak memperhatikan jalan itu.”
Begitu besar rasa malu dan takut para pemimpin Islam terdahulu kepada Allah dan rakyatnya. Lalu bagaimana dengan hari ini, ketika pemimpin yang nyata-nyata gagal, justru bersikap kebal dan tak tergoyahkan?
Kesombongan Struktural: Bahaya yang Mengintai
Menolak kritik adalah bentuk kesombongan. Nabi ﷺ menjelaskan, sombong itu adalah “menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim). Maka ketika pemimpin tidak hanya menolak kritik, tetapi juga meremehkan rakyatnya, sesungguhnya ia sedang menanam benih kebinasaan.
Bahaya dari kesombongan ini bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh sistem. Sebab pemimpin itu seperti kepala, dan rakyat adalah tubuh. Bila kepala menolak mendengar, maka seluruh tubuh akan tersesat.
Refleksi untuk Kita Semua: Mau ke Mana Arah Negeri Ini?
Tulisan ini bukan sekadar kecaman, tapi refleksi untuk semua. Bagi pemimpin yang membaca, saya berharap ini menjadi cermin: masih adakah malu dalam memimpin? Masihkah Anda merasa gelisah saat kritik datang? Atau justru menganggap suara rakyat sebagai gangguan?
Dan bagi rakyat, kita tak boleh diam. Karena diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk kezaliman pasif. Mari terus bersuara, dengan cara yang cerdas dan bermartabat. Suara rakyat bukan kebisingan, tapi nyanyian nurani bangsa yang tak boleh dibungkam.
Mengembalikan Rasa Malu dalam Kepemimpinan
Kita butuh lebih dari sekadar pemimpin yang pandai berbicara. Kita butuh pemimpin yang malu ketika gagal, malu ketika berbohong, dan malu ketika mengkhianati amanah rakyat.
“Jika rasa malu telah sirna, maka sesungguhnya kita bukan lagi dipimpin oleh seorang negarawan, tapi oleh seorang oportunis yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk bertahan, bukan untuk melayani.”
Saya, La Palellung, menulis ini bukan dengan amarah, tapi dengan cinta pada negeri dan iman pada nilai-nilai Islam yang luhur. Semoga tulisan ini menjadi pengingat, dan semoga pemimpin-pemimpin kita kembali menemukan malunya, sebelum sejarah menelanjangi semuanya.
Wallahu a’lam.