Apa bisnis yang paling bagus untukmu?
Pertanyaan ini sering muncul dalam benak siapa saja yang ingin memulai usaha. Khususnya bagi yang baru mau memulai bisnis.
Jawaban paling sederhana, namun paling jujur: berbisnislah dengan apa yang kamu cintai. Apa yang kamu sukai, yang membuatmu bergairah saat membicarakannya, yang sanggup membuatmu bertahan meski jatuh bangun dalam prosesnya.
Bisnis yang berangkat dari kesukaan, bahkan dari hobi, bukan hanya akan menyenangkan dijalani, tetapi juga memberi ketahanan batin saat menghadapi tantangan. Sebab kita menjalaninya bukan karena keterpaksaan, melainkan karena kecintaan. Kelelahan dalam proses terasa sebagai bagian dari petualangan, bukan beban yang mematahkan semangat.
Namun, saya tak hendak memanjakan angan. Realitas hidup kadang memaksa kita untuk memilih yang tersedia, bukan yang ideal. Maka, bagi yang baru memulai, prinsip lainnya adalah: jangan gengsi, jangan malu, apalagi pesimis. Dignitas manusia bukan ditentukan oleh jenis pekerjaannya, melainkan oleh cara ia memaknai dan menjalaninya.
Saya pernah merasakan itu. Seorang sarjana ekonomi yang melamar pekerjaan, namun justru diterima sebagai sales motoris. Ya, sales keliling naik motor, membawa produk ke toko-toko, dari satu kios ke kios lainnya. Karena rasa malu, saya sembunyikan barang-barang jualan saya dalam kantong plastik dan tas pribadi agar tidak terlihat mencolok.
Pernah satu kali, saya berpapasan dengan kakak ipar saya, seorang dekan ekonomi. Saya bercerita padanya, agak menunduk karena merasa pekerjaan saya tak layak dibanggakan. Namun, ia tersenyum bijak dan berkata, “Kenapa harus gengsi, dek? Kamu itu belajar ekonomi. Semua ini bagian dari ilmu. Teori saja tidak cukup, kamu perlu paham lapangannya. Jadi sales itu terhormat, justru karena tidak semua orang mampu menjalaninya dengan sabar dan skill komunikasi.”
Sejak hari itu, gengsi saya luruh. Saya mulai mencintai pekerjaan saya. Saya pelajari lebih dalam dunia sales. Saya memahami ritme pasar dari bawah, berbicara langsung dengan pembeli, memahami psikologi konsumen, dan merasakan sendiri dinamika distribusi barang. Saya bahkan pernah berkata, “Lihat saja, suatu hari nanti, pekerjaan sales akan dipersyaratkan minimal S1.” Dan tak lama, itu terbukti. Profesi ini bukan lagi dianggap remeh, karena membutuhkan ilmu, strategi, dan integritas.
Dalam perjalanan saya, saya mencoba berbagai bisnis. Alhamdulillah, hampir semuanya memberi hasil yang menguntungkan. Tapi ironisnya, saya belum bisa mengatakan bahwa saya telah membangun bisnis yang permanen dan sukses secara institusional. Kenapa? Karena saya kurang fokus. Ketika satu bisnis mulai jalan dan menghasilkan, saya tergoda membuka bisnis lain. Begitu seterusnya. Akhirnya energi saya tersebar, fokus saya terpecah.
Fokus itu penting. Bahkan dalam ilmu spiritual, fokus disebut sebagai khusyuk, sebuah sikap hati yang terpusat penuh pada satu arah. Dalam bisnis pun begitu. Jangan terlalu cepat berpindah sebelum menuntaskan yang satu. Bisnis bukan hanya soal profit, tapi tentang membangun sistem yang berkelanjutan, yang bisa berdiri kokoh walau pemiliknya sedang tidak hadir.
Dan yang paling penting: bisnis harus membawa kebermanfaatan. Jangan sekadar mencari kaya, tapi niatkan sebagai jalan memberi manfaat pada sesama. Dalam Islam, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Ketika bisnis kita memberi lapangan pekerjaan, memberi solusi bagi kebutuhan masyarakat, mengangkat martabat petani, UMKM, atau bahkan hanya membuat pelanggan merasa lebih baik, maka di situlah nilai spiritual bisnis kita hadir.
Berbisnis adalah jalan pengabdian, bukan sekadar jalan mencari kekayaan.