Bismillahirrahmanirrahim.
Tabe’, tulisan ini lahir bukan dari kelengkapan naskah lontaraq tua, melainkan dari tutur pitutur yang diwariskan orang tua, nenek, dan rumpun keluarga. Setiap tutur adalah jejak, dan setiap jejak adalah sejarah.
Seperti kata bijak Bugis:
“Naia siri’na wija, engka naiwatakkale; naia adanna tau, engka nawarikna.”
(Siri’ itu penopang wija, sebagaimana adab itu penopang manusia.)
Mappasitinaja: Tutur yang Menghidupkan Jejak
“Setiap tutur adalah awal dari langkah. Setiap langkah menorehkan jejak. Dari jejak lahirlah warisan, dan dari warisan itulah sejarah ditulis. Sejatinya, sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, melainkan tentang siapa yang meninggalkan makna.”
Dengan semangat itulah penulis — Arham MSi La Palellung — menurunkan tulisan ini, bukan untuk meninggikan diri, melainkan sebagai pengingat, pengikat, sekaligus penutur ulang jejak leluhur. Sebab Bugis meyakini, tanpa sejarah, tak ada siri’; tanpa siri’, tak ada marwah.
Dalam sistem silsilah Bugis, tutur jauh lebih tua daripada tulisan. Sejak abad-abad lampau, masyarakat Bugis mengandalkan tradisi lisan (pamanna) sebagai sumber utama pencatatan silsilah, bukan dokumen tertulis. Bahkan di banyak keluarga bangsawan, rantai silsilah kerap diwariskan hanya melalui cerita turun-temurun. Yang paling penting: tutur jangan mengandung kebohongan. Salah boleh, asal bukan bohong.
Baca: Jejak Leluhur Bugis: Pamanna Silsilah Wija Arham MSi La Palellung Hingga Datu Bakke
Sureq I: Jejak Awal dari Mong
Saya tidak memiliki manuskrip lontara atau catatan silsilah yang diwariskan langsung. Namun, menurut kakek saya, catatan atau lontara leluhur tersimpan di rumah besar keluarga (saoraja) di Mong.
Saya Arham, anak ketiga dari empat bersaudara, putra dari La Mannan Matoa ri Wanuanna Sepe’e dan I Tina. Kami tumbuh dalam keluarga sederhana. Meski jauh dari gelaran adat bangsawan Bugis, orang tua kami menanamkan nilai luhur: agama, adab, dan siri’.
Ayah saya, La Mannan (Babba, panggilan kesayangan kami) seorang ASN, Ibu saya seorang ibu rumah tangga yang menopang keluarga dengan menjahit kebaya dan membuat kue. Dari merekalah saya mengenal tutur, khususnya tentang leluhur kami.
Ibu saya berkata:
“Nak, ayahmu dan ibumu ini sepupu satu darah. Ibu saya bernama I Yomming, dan ibu ayahmu bernama I Tcambo. Mereka saudara kandung, putri dari Pua Ninni I Banuna.”
Dari tutur itu, saya mengenal nama Pua Ninni I Banuna: perempuan cantik, tangguh, disegani datu dan penjajah. Beliau adalah putri La Taherong (Puang/Petta Taherong), kepala wanua di Atakka yang membawa sekitar 40 orang dari Mong membuka perkampungan.
Petta Nasi’ (tokoh Matoa Ajjakkang, kemudian Kepala Desa) dan keluarga lainnya menuturkan bahwa Pua Ninni I Banuna adalah pemegang terakhir bendera Datu Bakke. Ia wafat di Pabbiring, Soppeng Riaja, meninggalkan sawah dan bujung pitue (tujuh sumur) yang konon berfungsi penting di masa penjajahan.
Dari tutur itu pula saya tahu, leluhur kami terkait dengan Arung Kawu-Kawu dan Datu Bakke. Bahkan Ibu saya berpesan:
“Nak, kelak berjalanlah ke Soppeng. Dari sanalah asal leluhurmu. Siapa tahu engkau bertemu keluarga, meski engkau tidak mengenalnya.”
Sureq II: Menyusuri Kawu-Kawu dan Bakke
Setelah berhenti dari dunia profesional dan menekuni bisnis, waktu saya lebih banyak untuk menelusuri jejak. Dari warga dan rumpun keluarga di Soppeng, saya mendapat kepastian:
Arung Kawu-Kawu dimakamkan di kampung Kawu/Kawue (satu desa dengan Mong, sebelum pemekaran), dan Datu Bakke dimakamkan di kampung Bakke, Desa Ganra.
Dari penelusuran, saya mendapat data bahwa leluhur kami bernama La Pottobunne Datu Bakke Matinroe ri Ana Keteng.
Beliau menikah dengan I Madina dan Petta I Mangko’ Pute.
- Dari I Madina lahir La Kateng.
- Dari Petta I Mangko’ Pute lahir La Senrima (Arung Kawu-Kawu).
La Keteng menikah dengan I Makkawaru, dan La Senrima menikah dengan I Maemuna.
- Dari La Kateng lahir La Wettoing.
- Dari La Senrima lahir I Mahenni (Arung Mong).
La Wettoing menikah sepupu dengan I Mahenni — sebagaimana lazim pada keluarga bangsawan Bugis untuk menjaga garis darah. Dalam istilah adat Bugis, hal ini disebut “Siri’ massiri’, darah massureq”, yaitu penyatuan darah dan martabat dalam satu tali keturunan.
Dari pernikahan itu lahirlah:
- La Tomanggung Arung Mong (dimakamkan di Bengkulu),
- La Taherong Petta Atakka (makamnya belum pasti, antara Atakka–Mong–Lenrang).
La Taherong memiliki putri bernama Andi Banuna (Pua Ninni I Banuna), cucu kesayangan I Mahenni Arung Mong.
Pua Ninni I Banuna menikah dan memiliki empat putri: Petta Hj. I Sitti, Petta I Saebu, Petta I Yomming, dan Petta I Tcambo.
- Dari Petta I Yomming lahirlah I Tina (ibu saya).
- Dari Petta Hj. I Tcambo lahirlah La Mannan (ayah saya).
Sejarah berulang,untuk menjaga garis darah. Dalam istilah adat Bugis, hal ini disebut “Siri’ massiri’, darah massureq”, yaitu penyatuan darah dan martabat dalam satu tali keturunan: La Mannan dan I Tina kembali menikah satu darah, sebagaimana La Wettoing dan I Mahenni dahulu. Dari merekalah lahir kami empat bersaudara, salah satunya saya — Arham MSi La Palellung.
Sumber tutur ini jelas: jejak pamanna, jejak geografis, jejak data tertulis rumpun keluarga. Jejak nama leluhur yang dituturkan: Arung Kawu-Kawu, Datu Bakke, dan Makkawaru.
Sureq III: Warisan Adat dan Muhammadiyah
Dalam literatur, zaman Pua Ninni I Banuna sudah mulai disematkan gelar kebangsawanan Andi. Namun dari tutur, beliau memilih melepas simbol kebangsawanan, lebih fokus menuntun anak-anaknya ke jalan Islam.
Buktinya, seluruh putrinya disekolahkan di sekolah Muhammadiyah Ajjakkang Soppeng Riaja (berdiri sejak 1927). Sejak itu, rumpun keluarga kami banyak menjadi tokoh Muhammadiyah.
Di sini jelas terlihat: warisan leluhur bukan hanya soal tahta, tetapi juga agama, pendidikan, dan siri’.
Keturunan itu anugerah, tetapi akhlak adalah pilihan. Yang menjaga martabat leluhur bukanlah gelar, melainkan adab dan kebermanfaatan. Terlahir dari darah to mappideceng (bangsawan), tetapi tanpa akhlak, tanpa adab, dan tanpa kepedulian kepada sesama, maka darah itu hanyalah simbol kosong.
Sureq IV: Dari Ajjakkang ke Ajjarange – La Palellung
Dan inilah perjalanan panjang yang perlahan menuntunku untuk memahami kenapa di akhir nama saya melekat sebutan La Palellung.
La Palellung berasal dari kakek buyut saya La Lellung, putra dari La Baso Petta Ajjarange.
La Lellung berarti “pemburu”. Saya memaknai itu sebagai cermin profesi saya: pemburu kebenaran, pemburu koruptor, lewat lembaga HAM, antikorupsi, dan organisasi pers yang saya pimpin.
Ayah dari La Lellung adalah La Baso Petta Ajjarange, tokoh yang ikut melantik arung-arung di Barru pada masa kerajaan.
Putranya, H. Muhammad Syafei (Petta Sapi’ Bin La Lellung Bin La Baso), adalah saudagar kaya dari Ta’kajuara, kampung tua di Barru yang kelak menjadi pusat awal kerajaan Barru.
Dalam tutur lama, disebutkan seorang putra Pajung Luwu datang ke Kajjuara mencari sumber mata air bertuah, yang konon ditemukan di sana. Pohon berru tumbuh subur, menjadi asal nama Berru (Barru).
Dengan demikian, garis leluhur saya berpijak pada dua tanah besar Bugis: Marioriwawo-Soppeng (Arung Kawu-Kawu, Datu Bakke) dan Ajjakkang-Soppeng Riaja- Ta’Kajuara-Barru (La Lellung bin La baso Petta Ajjarenge).
Epilog: Siri’, Warisan, dan Jalan Pulang
Sejarah keluarga ini mungkin tidak lengkap, namun setiap tutur, setiap makam, dan setiap nama adalah cahaya penuntun. Dari Mong, Atakka, Lenrang, Bakke, hingga Ajjakkang dan Ajjarange, jejak itu menyatu menjadi identitas.
Maka, menuliskan kembali kisah ini bukanlah pengakuan, melainkan panggilan jiwa untuk menjaga siri’, marwah, dan nilai luhur leluhur Bugis.
Sebagaimana pepatah Bugis berkata:
“Naletei Pammase Dewata, naletei Siri’ na Pesonae.”
(Bersandarlah pada kasih sayang Allah Subhanahu Wata’ala, dan tegakkanlah Siri’ dan harga dirimu.)
Massureq na wija, pamanna na atinna.
Inilah darah yang kutanggung, inilah amanah yang kujaga.
Silsilah ini bukan sekadar susunan nama, ia adalah warisan nilai. Bahwa darah bangsawan tidak selalu mengarah pada tahta, tetapi bisa menuntun pada pengabdian. Jejak ini masih hidup, dan akan terus berdenyut di dada anak cucu yang menjaga ingatannya.
Warisan pamanna, harga diri wija.
Penulis: Arham MSi La Palellung/Pewaris Pamanna Pua Ninni I Banuna bin Petta La Taherong (cucu dan cicit dari Arung Mong-Arung Kawu2 & Datu Bakke)
Founder: Perkumpulan Rumpun Wija Pemersatu Adat Nusantara