Catatan Petta Lellung – Sebagai seseorang yang lahir dari garis keturunan bangsawan, saya memahami betapa dalamnya nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur Bugis-Makassar. Namun, di era hari ini, saya juga menyaksikan bagaimana sebagian orang menjadikan garis keturunan sebagai alat kesombongan, bukan sebagai sumber tanggung jawab untuk menjaga akhlak dan mengayomi masyarakat.
Tulisan ini saya persembahkan kepada para rumpun wija, anak cucu dari darah yang diwariskan, agar tidak hanya bangga akan asal-usulnya, tetapi lebih dari itu: mampu menjadi penjaga kehormatan leluhur melalui akhlak yang mulia dan manfaat nyata di tengah masyarakat.
Dalam masyarakat Bugis-Makassar, nama besar keturunan sering kali menjadi kebanggaan yang dijunjung tinggi. Banyak yang merasa lebih tinggi karena membawa gelar atau berasal dari garis keturunan tertentu. Namun, perlu kita renungkan kembali: apakah benar derajat seorang manusia hanya bisa diukur dari darah keturunannya? Ataukah ada sesuatu yang lebih luhur dan lebih bermakna dari sekadar nama dan gelar?
Tudang Sipulung Para Leluhur: Pesan Bijak dari Tanah Bugis
Leluhur Bugis dikenal bijak. Dalam banyak tuturan tua, mereka mengajarkan bahwa martabat bukan terletak pada gelar, tapi pada tindakan. Dulu, seorang raja atau arung bukan dihormati karena gelarnya saja, tetapi karena sifat ade’na (etika), lempu’na (kejujurannya), dan gettengna (keteguhan dan tanggung jawabnya).
Beberapa pesan leluhur Bugis yang perlu kita ingat:
“Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui menre’ tessirui no”
(Jatuh saling menopang, hanyut saling menolong, naik bersama, tidak saling menjatuhkan).
Makna: Bangsawan sejati tidak meninggikan diri, tetapi merangkul semua golongan. Ia hadir sebagai pengayom, bukan penguasa yang angkuh.
“Ada tongeng, lempu, warani, getteng”
(Berkata jujur, bersikap lurus, berani membela kebenaran, dan teguh pada prinsip).
Inilah nilai utama seorang pemimpin Bugis. Jika tidak punya ini, maka ia tak pantas disebut bangsawan, meskipun darahnya biru.
“Sipakatau, Sipakalebbi’, Sipakainge’”
(Saling menghormati dan menjaga harga diri).
Hanya orang yang menghargai orang lain yang pantas dihargai.
- Sipakatau: merupakan sifat memanusiakan manusia. Artinya, sebagai manusia kita harus saling menghormati, berbuat santun, dan tidak membeda-bedakan dalam kondisi apapun tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan kepada sesama manusia. Konsep memanusiakan manusia juga merupakan sikap berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan nilai tali persaudaraan.
- Sipakalebbi: merupakan sifat saling memuliakan atau menghargai. Sifat menghargai artinya manusia merupakan makhluk yang senang jika dipuji dan diperlakukan dengan baik dan layak. Dan sifat memuliakan memiliki arti sebagai larangan untuk melihat kekurangan yang ada pada diri orang lain.
- Sipakainge’: merupakan sifat saling mengingatkan sesama manusia. Hal ini tidak terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri yang terkadang lupa. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita untuk saling mengingatkan satu sama lain ketika mereka lupa.
Ketika Kebangsawanan Menjadi Topeng Keangkuhan
Zaman berubah. Sayangnya, tidak sedikit yang mewarisi nama, tapi tidak mewarisi nilai. Gelar dijadikan alat pamer. Silsilah dipakai untuk merendahkan. Padahal, menjadi keturunan mulia adalah amanah yang berat—karena itu berarti kita harus menjadi teladan, bukan justru menjadi penghalang persatuan.
Bangsawan dulu mengayomi, membela yang lemah, dan hidup sederhana meskipun bisa hidup berlebih. Mereka berjalan di depan rakyat bukan untuk dipuja, tetapi untuk memberi contoh.
Hari ini, masih pantaskah kita menyebut diri bangsawan jika kita justru menciptakan sekat di tengah masyarakat?
Bangsawan sejati tahu tempatnya: ia berdiri merunduk di antara rakyat, bukan menjulang menjauh.
Perspektif Islam: Keutamaan Ditentukan oleh Akhlak dan Iman
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk tidak sombong karena garis keturunan. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas orang Arab, kecuali dalam ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Dengan kata lain, semua manusia sama. Yang membedakan hanyalah keimanan dan akhlaknya. Jadi kalau hanya mengandalkan silsilah tanpa akhlak yang baik, maka keturunan itu tidak ada nilainya di sisi Allah.
Bukti Ilmiah: Tidak Ada “Darah Bangsawan”
Secara ilmiah, genetika tidak mengenal istilah darah bangsawan. Anak menerima 50% DNA dari ayah dan 50% dari ibu. Tidak ada darah yang lebih “tinggi” atau lebih “rendah” dalam tubuh manusia. Semua setara.
Konsep “darah biru” hanyalah konstruksi sosial yang hidup dalam budaya feodal masa lalu. Ilmu pengetahuan modern justru membuktikan bahwa martabat manusia ditentukan oleh apa yang ia lakukan, bukan dari mana ia berasal.
Tugas Keturunan: Menjadi Bayang-Bayang Kebaikan Leluhur
Jika kita benar mencintai leluhur kita, maka buktikan dengan meneladani akhlak mereka. Jangan mencoreng nama mereka dengan kesombongan. Lebih baik menjadi keturunan bangsawan yang hidup sederhana tapi bermartabat, daripada menjadi keturunan raja yang hanya pandai mengklaim tanpa kontribusi.
Mari kita renungkan:
- Apakah kita dikenal karena kebaikan, atau hanya karena silsilah?
- Apakah kita memberi manfaat, atau hanya menuntut dihormati?
- Apakah kita menjaga silaturahmi, atau malah membangun sekat sosial?
Jadi, Siapa Bangsawan Sebenarnya?
Bangsawan sejati adalah ia yang:
- Memiliki akhlak mulia
- Menghormati siapa pun tanpa memandang status
- Menjaga warisan leluhur dengan bijak
- Merangkul, bukan memisah
- Memberi manfaat bagi orang banyak
Mari kita tinggikan nilai, bukan gelar. Mari kita warisi akhlak, bukan sekadar silsilah. Mari kita buktikan bahwa kita keturunan orang besar dengan menjadi manusia yang berjiwa besar.
Kita boleh lahir dari darah bangsawan, tetapi jika tak ada akhlak, tak ada adab, dan tak ada kepedulian pada sesama, maka darah itu hanya sekadar simbol kosong.
Bangsawan sejati bukan diukur dari gelar atau pakaian adat yang dikenakan, tapi dari kemampuannya menjadi penyejuk dan pelindung bagi orang-orang di sekitarnya.
Sebagaimana pesan leluhur Bugis:
“Naia to waranié, iyaroé to sipakatau, napagaué gau-gau na malebbié.”
Orang yang benar-benar pemberani adalah mereka yang memanusiakan manusia lain, dan mengedepankan sikap dan tindakan yang mulia.
Semoga tulisan ini menjadi cermin dan pengingat bagi kita semua, bahwa kehormatan bukanlah warisan, tapi tanggung jawab yang dijaga dengan akhlak, adab, dan kebermanfaatan. La Palellung