banner 970x250

Jejak Leluhur Bugis: Pamanna Silsilah Wija Arham MSi La Palellung Hingga Datu Bakke

Sebuah Tutur dan Lontara Keluarga Pua Ninni I Banuna

banner 728x90
banner 728x90

Awal Tutur Keluarga

Sejak kecil, telinga saya akrab dengan tutur yang bersumber dari orang tua, tante, kakek, nenek, hingga keluarga inti. Mereka sering menuturkan nama kampung dan nama leluhur, namun yang lebih melekat bukanlah nama pribadi, melainkan gelar serta nama tempat asal mereka.

banner 325x300

Nama-nama kampung seperti Mong, Atakka, Lenrang, Lajoa, dan sesekali Lamuru kerap bergema dalam tutur keluarga. Sementara dari deretan gelar leluhur pun selalu disebut, seperti Datu Bakke, Arung Kawu-Kawu dan Arung Mong. Ada juga nama yang dituturkan dan hadir dalam ingatan, yakni:

  • Opu Makkawaru, belakangan saya ketahui bahwa Opu Makkawaru atau I Makkawaru Adalah istri dari La keteng sekaligus ibu dari La Wettoing & I Mahenni Arung Mong.
  • Puang Taherong – bermukim di Bujung Lompoe, memiliki rumah adat di kawasan Atakka, pernah menjadi Matoa (pemimpin) di Atakka.
  • Puang Ninni I Banuna – putri Puang Taherong, berasal dari Mong, lalu hijrah ke Atakka dan Lenrang. Dari beliaulah tersisa peninggalan Bujung Pitue di Lenrang serta hamparan sawah luas yang kini masuk wilayah Desa Jampu.

Meskipun tutur itu kadang terabaikan bahkan hampir terlupakan, ingatan itu tetap tersimpan. Ia sering hadir kembali seperti pesan batin, seakan menuntun saya untuk menelusurinya.

Jejak yang Menghantarkan

Tanpa perencanaan, tanpa disengaja, saya seperti dituntun oleh Yang Maha Mengetahui Allah Subhanahu Wa’taala untuk mendatangi kampung-kampung yang disebutkan dalam tutur itu. Dari sana, saya menemukan catatan silsilah yang menguatkan kepastian jejak leluhur saya.

Orang tua saya pernah menuturkan bahwa nenek mereka, Puang Ninni I Banuna, adalah cucu seorang Arung dan cicit seorang Datu, berasal dari Kampung Mong—kampung tua bertrah bangsawan. Ia dijaga ketat oleh neneknya, bahkan keluar rumah pun harus ditandu. Kecantikannya diakui oleh keluarga, rupawan, berkulit putih, dan pernah dilamar oleh seorang Datu. Namun lamaran itu ditolak ayahnya, Puang Taherong, karena sang Datu dikenal gemar beristri.

Puang Ninni I Banuna pun dikenal sebagai pemegang terakhir bendera Datu Bakke.

Jejak Saoraja di Mong

Kakek saya juga menuturkan bahwa leluhur kami memiliki saoraja (istana kecil) di Mong. Untuk mencapainya, orang harus menyeberangi sungai. Di dalamnya tercatat nama semua anak keturunannya, termasuk saya sendiri, Arham, yang tercatat dalam lontaraq.

Sejak SD hingga dewasa, tutur ini terus saya dengar, meski sering saya abaikan. Bahkan orang tua saya menegaskan bahwa leluhur sengaja melepaskan identitas kebangsawanan karena takut berdosa. Mereka mengalirkan gelar kebangsawanan itu ke Sungai Walanae, memilih berjuang di jalan syariat Islam.

Tidak mengherankan jika keluarga besar saya berhaluan Muhammadiyah, dengan pusat gerakan di Ajjakkang (Pabbiring), Soppeng Riaja, Barru dan Lajoa.

Pertemuan dengan Jejak Baru

Tahun 2011, saya menikahi seorang perempuan dari Citta, Kabupaten Soppeng—tanpa saya ketahui sebelumnya, ia ternyata keturunan bangsawan yang menyandang gelar Andi. Padahal Citta bertetangga dengan kampung-kampung leluhur yang selalu saya dengar sejak kecil.

Saya pernah bergurau pada tante saya:

“Petta Aji, kalau leluhur Petta bangsawan, pernah jadi Datu dan Arung, kenapa anak keturunannya termasuk saya tidak memakai gelar adar “Andi” sebagai simbol identitas umum?”

Dengan senyum penuh kharisma, Petta Aji menjawab:

“Nak, darah itu mengalir dalam dirimu, tidak akan hilang. Yang penting perbaikilah akhlakmu, perbaikilah adabmu, manusiakan manusia. Suatu saat engkau bisa saja memperistri atau bergaul dengan keturunan bangsawan yang masih memelihara gelar adatnya.”

Penelusuran Silsilah

Penasaran saya kian tumbuh. Penelusuran ini bukan untuk mencari pengakuan kebangsawanan, melainkan untuk membuktikan kebenaran tutur, menjaga nilai luhur, dan menguatkan jejak wija.

Silsilah wija saya tersusun sebagai berikut:

  1. I Panangareng Datu Marioriwawo menikah dengan La Mappasunra Datu Lamuru, melahirkan La Pottobunne Datu Bakke.
  2. La Pottobunne Datu Bakke menikah dengan Petta I Mangko’ Pute, melahirkan La Senrima (Arung Kawu-Kawu). Saudaranya, La Keteng, menikah dengan Petta I Makkawaru.
  3. Dari Arung Kawu-Kawu lahir I Mahenni (Arung Mong). Dari La Keteng lahir La Wettoing.
  4. I Mahenni Arung Mong menikah dengan sepupunya La Wettoing, melahirkan La Tomanggong dan La Taherong.
    • La Tomanggong mewarisi gelar ibunya sebagai Arung Mong.
    • Sedangkan, La Taherong ditugaskan orang tuanya membuka kampung di Atakka, yang kemudian dikenal sebagai La Taherong Petta Atakka, Matoa ri Wanuanna Atakka.
  1. Dari keturunan La Tomanggong lahir Petta Bare’ dan Petta Patcoba, yang kemudian menurunkan Petta Lolo Haddade dan Petta Bangka’, yang salah satun keturunanya adalah Andi Fahri Petta Lolo Haddade (paman saya).

  1. Dari keturunan La Taherong lahir Puang Ninni I Banuna, menikah dengan La Patompori Petta Lato’ Pute, melahirkan empat putri, termasuk Petta Tcambo dan Petta Yomming.
    • Petta Tcambo menikah dengan HM Syafei (Petta Sapi’ bin La Lellung bin La Baso Petta Ajjarenge Ta’kajuara), melahirkan La Mannan Matoa, kepala kampung Sepe’e selama 13 tahun.
    • Petta Yomming menikah dengan La Mailang dari Coppobukkang Bila, melahirkan I Tina.
  1. La Mannan menikah dengan sepupunya I Tina, melanjutkan tradisi perkawinan satu darah. Dari perkawinan itu lahir empat putra, salah satunya adalah saya sendiri: Arham MSi La Palellung—pewaris tutur wija Puang Ninni I Banuna Arung Kawu-Kawu.

Narasi Silsilah & Refleksi

Silsilah ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan darah bangsawan yang dijaga dari generasi ke generasi. Leluhur menikah sesama bangsawan, sehingga darah biru tetap terjaga kemurniannya. Bahkan bapak dan ibu saya menikah sebagai sepupu satu darah—bukan kebetulan, melainkan penguatan garis leluhur agar tetap bersambung.

Namun, meski demikian, leluhur memilih meninggalkan simbol kebangsawanan demi memperjuangkan Islam.

Maka penelusuran saya bukan demi gelar, melainkan demi membuktikan kebenaran tutur, menjaga nilai luhur, dan mengikat jejak wija agar tidak terputus.

Dari tutur ini jelaslah: terdapat jejak geografis, jejak hijrah adat, dan jejak gelar yang saling berhubungan. Kampung Kawu’e (Kawu-Kawu), Mong, dan Atakka sejatinya masih dalam satu rumpun wilayah, dahulu satu desa sebelum pemekaran, kini tetap berada di Kecamatan Marioriwawo.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Disusun oleh:

Arham MSi La Palellung

  • Pewaris Pamanna Wija Silsilah
  • Pendiri PERWIRA NUSANTARA
banner 325x300
banner 325x300