Kita sering mendengar pejabat berkata: “UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional.” Tapi jika ditelusuri lebih dalam, berapa persen kebijakan yang benar-benar berpihak pada UMKM?
UMKM kita bukan tidak hebat. Mereka tahan banting tanpa insentif, tetap berdiri meski diterpa pandemi, dan terus menggeliat walau diabaikan negara. Tapi apakah negara hadir saat mereka butuh?
Bank membanggakan program kredit usaha rakyat (KUR), tapi bunganya masih mencekik bagi sebagian pelaku usaha kecil. Pemerintah daerah membuat pelatihan-pelatihan, tapi output-nya lebih banyak seremonial daripada penguatan ekosistem usaha. Mereka lupa, UMKM tidak butuh seminar yang disponsori, mereka butuh keberpihakan nyata.
Dalam strategi pembangunan nasional, UMKM harus diangkat dari sekadar “pelengkap pidato” menjadi pilar utama kebijakan ekonomi. Negara harus menempatkan UMKM sebagai prioritas, bukan hanya karena jumlahnya besar, tapi karena daya tahannya terbukti melebihi korporasi besar saat krisis menghantam.
Apa yang perlu dilakukan?
Pertama, reformasi regulasi. Banyak aturan kita justru menyulitkan UMKM—dari izin, pajak, hingga beban distribusi. Kedua, kemudahan akses pembiayaan tanpa jebakan bunga tinggi. Ketiga, perluasan pasar berbasis digital dan etalase global, bukan hanya pasar lokal.
Dan yang terpenting, budayakan nasionalisme ekonomi: jangan suruh rakyat cinta produk lokal kalau negara sendiri masih getol impor. Bangun keberpihakan dari dapur istana hingga dapur rumah rakyat.
UMKM tidak minta dimanjakan, mereka hanya ingin lapak yang adil dan perlakuan yang manusiawi. Negara yang membangun dari akar rumput akan kuat fondasinya. Tapi negara yang hanya sibuk di menara gading, akan roboh oleh angin protes dari bawah.
Mari bangun negeri dari gerobak, warung, kios, dan bengkel kecil. Karena di situlah kedaulatan ekonomi bermula. Catatan Ekobis
