Dalam adat Bugis-Makassar, kehormatan tidak semata-mata ditentukan oleh garis darah atau gelar. Kebangsawanan sejati terletak pada nilai-nilai luhur yang diwariskan dan dihidupkan:
-
- malempu (kejujuran),
- getteng (keteguhan),
- siri’ (harga diri), dan
- paccing (kesucian niat).
Nilai-nilai inilah yang kujadikan pegangan, bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai arah hidup.
Aku memang tak memiliki manuskrip lontara sebagai bukti tertulis. Tapi aku punya pitutur, warisan lisan dari orang tuaku. Dari mereka aku tahu bahwa aku adalah cucu dari nama-nama besar dalam sejarah kebangsawanan Bugis. Tapi warisan terbesar dari mereka bukanlah gelar, melainkan teladan.
Dalam pitutur itu, diajarkan bahwa gelar bisa diwarisi, namun kehormatan harus dijaga. Bangsawan sejati tidak sibuk menuntut pengakuan, tapi sibuk menghidupkan marwah leluhur lewat akhlak dan kebermanfaatannya.
Menarik dibaca: Jika Darahmu Bangsawan, Maka Akhlakmu Harus Lebih Luhur
Banyak yang hari ini mengaku sebagai bangsawan, namun tak menjunjung tinggi nilai kebangsawanan itu sendiri. Padahal, menjadi bagian dari trah besar bukanlah tentang membanggakan diri, melainkan tentang menundukkan diri dalam pengabdian dan keteladanan.
Seorang tua pernah berpesan padaku: “Iya to Datu anre, nappamula riyasengngi anre ri akkalengna” – orang yang layak disebut bangsawan, pertama-tama dikenal melalui keluhuran pikir dan perilakunya.
Baca juga: Jejak Warisan: Jejak Tanah, Tutur Darah, dan Takdir Langkah Seorang AM Syafei La Palellung
Inilah jalan hidupku. Menghidupkan kembali jejak tutur itu. Bukan untuk mendudukkan diri pada kemuliaan masa lalu, tetapi untuk menanamkan nilai luhur itu di tanah kehidupan hari ini.
Karena pada akhirnya, darah bisa diwarisi, tapi kehormatan hanya bisa dijaga. Catatan Petta Lellung