Di tengah derasnya arus zaman, banyak orang yang mulai melupakan dari mana mereka berasal. Padahal dalam adat Bugis-Makassar, mengenal asal-usul bukan sekadar kebanggaan, melainkan tanggung jawab. Saya sendiri tidak memiliki manuskrip lontara, tetapi pitutur dari orang tua selalu mengingatkan bahwa kami masih cucu dari trah bangsawan. Inilah yang mendorong saya untuk menuliskan kembali serpihan sejarah, bukan untuk disombongkan, tapi sebagai catatan peradaban yang jangan sampai hilang.
Meski tak lagi membawa gelar, tapi nilai keadaban dan hikmah kehidupan yang menjadi warisan patutlah dirawat, dijaga dan diamalkan.
Baca: Jejak Warisan: Jejak Tanah, Tutur Darah, dan Takdir Langkah Seorang AM Syafei La Palellung
1. Lontara: Tulisan Resmi & Sejarah Tersusun
Lontara adalah sistem tulisan Bugis-Makassar yang digunakan sejak ratusan tahun lalu untuk mencatat silsilah, hukum adat, batas wilayah, hingga epos kerajaan seperti Sureq La Galigo.
Kelebihan Lontara:
Ditulis langsung oleh juru tulis kerajaan atau tokoh adat.
Memuat catatan resmi seperti hukum adat (ade’), silsilah bangsawan, hingga peristiwa penting.
Bisa diuji dan dibandingkan antar manuskrip dari kerajaan yang berbeda.
Kelemahannya:
Tidak semua manuskrip selamat; banyak yang rusak atau musnah.
Ada kemungkinan ditulis atas pesanan tertentu sehingga mengandung bias.
Membacanya butuh keahlian khusus agar tak salah tafsir.
Baca juhga: Tutur Leluhurku: Gelar yang Dibuang, Darah yang Tetap Mengalir, Adab yang Menjaga Martabat
2. Pitutur: Riwayat Lisan yang Terwariskan
Pitutur (riwayat lisan) diwariskan turun-temurun dari orang tua ke anak, dari tetua adat ke generasi muda. Dalam keluarga Bugis-Makassar, terutama dari kalangan bangsawan, pitutur seringkali menjadi satu-satunya jejak sejarah keluarga.
Kelebihan Pitutur:
Hidup di tengah masyarakat dan mudah dipahami.
Sarat nilai-nilai spiritual, etika, dan panduan moral.
Bisa menjadi pelengkap ketika lontara hilang atau tidak tersedia.
Kelemahannya:
Rentan dipelintir atau dipoles demi kepentingan pribadi.
Tidak terdokumentasi secara tertulis, sehingga mudah terlupakan.
Kadang bercampur dengan mitos dan simbolisme.
3. Tantangan Autentikasi
Karena keduanya punya kelebihan dan kekurangan, maka menelusuri sejarah Bugis-Makassar perlu pendekatan arif dan triangulatif, diantaranya:
- Bandingkan lontara dari kerajaan seperti Bone, Gowa, Wajo, Soppeng, dan Tanete.
- Dengar pitutur dari beberapa cabang keluarga atau tokoh adat.
- Periksa nama kampung, situs leluhur, benda pusaka, dan konteks sejarah lainnya.
Menarik dibaca: Tutur La Palellung: Jejak Tutur, Bukan Sekadar Darah
4. Menulis untuk Merawat, Bukan Menuntut Pengakuan
Menelusuri jejak leluhur bukan soal klaim gelar atau nostalgia kebesaran masa lalu. Ini soal merawat jati diri, mengingatkan nilai luhur, dan menjaga akar agar tak tercerabut oleh zaman. Baik lontara maupun pitutur, keduanya bukan dokumen mati.
Ia hidup dalam cara kita bersikap, memuliakan sesama, dan tidak menyombongkan garis keturunan.
Saya menuliskan ini bukan untuk mengangkat-angkat derajat keluarga, tapi sebagai ikhtiar kecil merawat warisan yang diwariskan lewat tutur dan sikap hidup.
Lontara bisa hilang, pitutur bisa pudar, tapi nilai dan adab tak boleh tercerabut.
Inilah warisan sejati. Maka saya abadikan dalam blog pribadi, bukan karena ingin dikenal sebagai keturunan bangsawan, tapi agar anak-cucu tahu bahwa mereka berasal dari tanah adat, budaya, dan nilai yang mulia, yang harus dijaga, bukan dibanggakan. Catatan Petta Lellung
Selengkapnya baca jejak langkah & tutur Petta La Palellung di: Galeri: Catatan Arham MSi La Palellung