banner 970x250

Sebait Nama, Segunung Makna: Mengapa Aku Menamai Anakku “Ghina”

Jejak Tutur – “Aku memberi kalian nama yang sama di awal, agar kalian selalu ingat: kalian lahir dari cinta yang sama, nilai yang sama, dan doa yang tak pernah putus dari seorang ayah.”

 

  • “Nama itu kupilih bukan karena dunia, tapi karena sejarah. Ghina adalah bisikan dari masa silam yang memeluk masa depan dalam diam.”
  • “Ghina adalah caraku mengenang tanpa mengangkat suara. Sebuah nama yang membawa keteguhan, bukan kebanggaan.”

Saya sering mendapat pertanyaan yang terdengar ringan, namun sesungguhnya menyentuh lapisan makna yang dalam: “Kenapa kedua anakmu nama depannya sama?”. Bahkan kedua anak saya pun bertanya: “Ayah, kenapa nama depan kami sama, apa artinya?”

Tutur Leluhurku: Gelar yang Dibuang, Darah yang Tetap Mengalir, Adab yang Menjaga Martabat

Pertanyaan itu biasanya diiringi senyum penasaran, kadang gurauan, kadang juga bisik-bisik heran. Putri pertamaku bernama Ghina Fasya Aulia Arham, dan adiknya bernama Ghina Ghefira Fadia Arham.

Satu nama di depan mereka: Ghina. Nama itu bukan sekadar indah dilafal atau enak didengar. Ia adalah narasi. Ia adalah penanda. Ia adalah pesan leluhur yang kutitipkan untuk masa depan.

Saya sengaja memberi nama depan yang sama untuk kedua putri saya sebagai bentuk ikatan batin dan nilai yang sama yang saya tanamkan kepada mereka sejak lahir. Nama depan yang sama bukan berarti mereka harus serupa dalam karakter, tapi mereka lahir dari cinta yang sama, doa yang sama, dan harapan yang sama, yakni agar keduanya tumbuh menjadi perempuan yang berlimpah kebaikan, akhlak, dan kebermanfaatan.

Saya ingin setiap kali mereka menyebut nama mereka sendiri, mereka saling mengingat bahwa mereka adalah saudara, saling mendukung, saling menguatkan, dan bahwa di dalam darah mereka mengalir nilai-nilai keluarga yang sama. Nilai ketulusan, kejujuran, dan cinta kasih. Dan itulah makna “Ghina” bagi saya.

  • “Aku memberi kalian nama yang sama di awal, agar kalian selalu ingat: kalian lahir dari cinta yang sama, nilai yang sama, dan doa yang tak pernah putus dari seorang ayah.”
  • “Ghina—nama yang kuberi sebagai doa. Bukan sekadar arti kekayaan, tapi limpahan akhlak, kemuliaan, dan cinta yang cukup untuk menuntun hidup kalian.”
  • “Dalam ‘Ghina’ kutitipkan harap: jadilah jiwa yang mandiri, hati yang penuh syukur, dan perempuan yang tak gentar menyebar manfaat.
  • “Kalian adalah dua bintang yang kuiringi dengan nama yang sama, agar cahaya kalian selalu mengingatkan satu sama lain tentang dari mana kalian berasal—dan untuk siapa hidup kalian bermakna.”

Selain semua makna tersebut, alasan paling khusus saya memberikan nama depan Ghina kepada kedua putri saya adalah karena saya ingin agar warisan leluhur tetap hidup. Saya ingin meninggalkan jejak yang halus namun bermakna, bahwa sejarah yang pernah ada tak boleh hilang begitu saja.

Nama Ghina adalah bentuk elegan untuk menyampaikan bahwa mereka adalah bagian dari trah, dari darah baik, dari leluhur yang pernah memegang gelar bangsawan namun memilih mewariskan adab dan agama di atas segalanya.

Maka kini, ketika aku memberi nama Ghina kepada kedua putriku, aku sedang melanjutkan warisan. Tanpa sorak sorai. Tanpa gelar. Tapi dengan makna yang dalam.

Ghina berasal dari bahasa Arab yang berarti:

Kekayaan, kemuliaan, dan kecukupan.

Bukan kaya harta, tapi kaya hati. Bukan mulia karena simbol, tapi mulia karena akhlak.

Bukan cukup karena tampilan, tapi cukup karena iman dan keikhlasan.

Mungkin suatu hari mereka akan ditanya seperti saya,

“Mengapa namamu sama di depan?”

Dan semoga saat itu mereka bisa menjawab:

Karena kami mewarisi nama yang bukan sekadar sebutan, tapi jiwa.

Bukan sekadar bunyi, tapi sejarah.

Bukan sekadar huruf, tapi doa yang dijahit oleh cinta seorang ayah.

Ia adalah ingatan yang berjalan, tentang leluhur yang memilih adab di atas gelar, agama di atas kehormatan dunia.

Ia adalah simbol sunyi dari kebesaran yang tidak ditinggikan dengan suara, tapi dengan sikap.”

Ghina—adalah napas dari masa lalu yang berhembus ke masa depan.

Ia tidak berteriak tentang siapa yang lebih mulia, tapi mengajarkan bagaimana menjadi manusia.

Dan itulah warisan terbesar yang ingin saya tinggalkan:

bukan kebesaran nama, tapi keluhuran makna.

Dan, aku pernah mempertimbangkan menggunakan gelar “kebangsawanan” sebagaimana lazimnya gelar bangsawan Bugis. Tapi kemudian aku teringat kisah orangtuaku. Gelar itu telah lama dilepaskan, bukan karena hina, tapi karena ingin memuliakan iman. Aku kuatir jika kupaksakan, aku justru mencederai prinsip itu. Aku tak ingin nama yang luhur dijadikan bahan ejekan oleh zaman yang sudah lupa adab.

    • Maka kutitipkan semuanya pada satu kata: Ghina.

Ia bukan hanya nama. Ia adalah kode. Ia adalah doa. Ia adalah pengingat bahwa darah yang mengalir dalam dirimu adalah darah orang baik. Maka jadilah orang baik. Jadilah perempuan mulia yang tidak membutuhkan validasi dari dunia. Karena harga dirimu tidak tergantung dari gelar yang kau pakai, tapi dari kebaikan yang kau tebarkan.

Dan jika kelak orang bertanya lagi kenapa kedua anakku bernama sama di depannya, aku akan menjawab dengan tenang:

    • “Karena aku ingin mereka tahu dari mana mereka berasal. Dan lebih penting lagi, ke mana mereka seharusnya berjalan.”
    • “Ghina adalah warisan yang tak tertulis—bukan gelar di depan nama, tapi jejak darah yang memilih diam tanpa kehilangan martabat.”
    • “Dua putriku kupanggil Ghina, bukan untuk menyombongkan garis, tapi sebagai pengingat sunyi akan darah yang pernah ditinggikan lalu direndahkan demi iman.”
    • “Kutulis ‘Ghina’ di awal nama putriku, sebagai isyarat sunyi bahwa darah luhur tak perlu dielu-elukan, cukup dijaga dalam adab dan kebaikan.”
    • “Dua Ghina, dua jiwa yang lahir dari darah yang sama—bukan untuk menuntut pengakuan, tapi untuk merawat warisan dengan cinta dan akhlak.”
    • “Ghina, bukan hanya nama—ia bisikan lembut dari masa silam, bahwa darah bangsawan tetap mengalir meski gelarnya ditanggalkan.”
    • “Tak perlu gelar untuk menjadi mulia. Cukup nama yang membawa makna. Ghina, karena darah baik tak butuh banyak kata.”

Jika Darahmu Bangsawan, Maka Akhlakmu Harus Lebih Luhur

Sebagian orang mungkin berkata:

“Banyak kok orang bergelar bangsawan tapi tetap beriman dan condong ke agama. Banyak kok keturunan bangsawan yang tetap menggunakan gelar kebangsawanannya dan tetap beriman, bahkan menjadi panutan dalam agama.”

Benar, Saya setuju dan saya hormati itu. Namun kisah keluarga kami berbeda.

Keputusan untuk menanggalkan gelar bukan karena gelar itu salah—melainkan karena leluhur kami memilih untuk menanggalkan segala bentuk kebanggaan duniawi yang bisa menjerumuskan pada kesombongan, agar fokus pada keikhlasan dalam menjalankan agama. Ini pilihan spiritual, bukan penghakiman terhadap yang lain. Maka kami pun memilih menjaga kehormatan itu bukan dengan nama. Setiap keluarga punya jalan masing-masing. Ada yang menjaga kehormatan leluhurnya lewat gelar, kami menjaganya lewat adab dan amal. Itu bukan berarti salah satu lebih baik dari yang lain, tapi cara kami menapaki warisan dengan tetap merunduk, bukan menjulang.

Karena iman dan akhlak tidak lahir dari gelar, tetapi dari hati yang bersih dan perbuatan yang lurus. Seperti pesan orang tua kami, “peliharalah adabmu, maka darah bangsawanmu akan tetap menyatu.”