banner 970x250

Monolog Rindu Seorang Ayah: Pesan Tengah Malam Itu, Nak…

Setiap saat, tanpa pernah terlewat,
aku selalu menanti kabar darimu, Nak.
Menanti bukan karena aku tak punya kesibukan,
tapi karena hatiku tak pernah bisa tenang sepenuhnya sebelum tahu kamu baik-baik saja.

Sesekali aku hubungi ibumu,
sekadar menanyakan kabar kamu dan adikmu.
Tapi…
tak selalu mendapat jawaban.
Entah karena alasan apa.
Kadang dijawab singkat, kadang tak dijawab sama sekali.
Lama-lama aku mulai terbiasa dengan hening.
Namun sungguh,
diam itu tidak pernah menjadi teman yang baik bagi seorang ayah yang rindu anaknya.

Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun.
Tidak ibumu, tidak keadaan.
Tapi terkadang,
hati ini lelah juga, Nak.
Lelah memikul rindu yang tak berbalas.
Lelah berharap di balik sunyi.
Tapi tahu tidak, Nak?
Rasa sayangku padamu dan adikmu…
jauh lebih besar dari segala lelah itu.

Aku pernah berikan dua nomor telepon.
Dua nomor itu tidak pernah mati.
Tidak pernah off.
Selalu menunggu—barangkali suatu saat ada kabar dari kamu.
Kabar sekecil apa pun.
Sapaan ringan, tanya kabar, atau bahkan hanya emoji.
Tapi nomor-nomor itu tetap diam,
seperti waktu yang tak kunjung berpihak pada rindu seorang ayah.

Selama ini, kabarku hanya bisa kutitipkan lewat ibumu.
Begitu pun kabar kalian berdua… hanya kuterima dari ibumu.
Perantara yang, sejujurnya,
tidak pernah kuharapkan.
Karena aku ingin mendengar langsung dari kamu, Nak.
Mendengar suaramu.
Membaca pesanmu.
Merasa hadir kembali dalam hidupmu, meski sekejap.

Namun Yaya percaya…
Allah Maha Kuasa atas segala yang tersembunyi,
Allah tahu isi hati yang paling dalam.
Allah tidak pernah lalai menjaga hamba-Nya,
termasuk aku, kamu, adikmu, dan ibumu.
Maka aku belajar berserah.
Bukan menyerah, tapi berserah.

Catatanku: Ketika Langit Rindu Terbuka

Sabtu malam, 10 Mei 2025.
Malam yang akan Yaya kenang selamanya.
Saat aku baru saja merebahkan badan di kamar,
kebiasaanku tak pernah berubah:
cek HP sebelum tidur.
Dan entah mengapa, malam itu ada yang berbeda.

Satu pesan WhatsApp masuk.
Nomornya tidak tersimpan di daftar kontak.
Pesannya singkat:
“Assalamu’alaikum.”
Tepat pukul 23.15 malam.
Aku diam.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Nama WhatsApp-nya tertulis: Shasa Jaya, SH.
Foto profilnya gadis muda, masih remaja.
Entah kenapa…
nama itu terdengar sangat familiar.
Shasa.
Mirip dengan Fasya.
Mirip dengan Caca.
Atau Aisah—nama panggungmu, Nak.

Deg.
Apakah ini mungkin?

Aku tahan diri untuk tidak langsung membalas.
Seperti biasa, aku cek ulang.
Aku periksa baik-baik foto itu.
Meskipun tidak terlalu jelas,
tapi ada satu hal yang tak bisa ditipu oleh waktu: sorot matamu.
Sorot mata yang tak pernah Yaya lupakan.
Sorot mata anak Yaya yang spesial.

Antara percaya dan tidak percaya,
aku ketik balasan perlahan.
Dan esok paginya,
aku menerima balasan darimu.
Ya Allah…
Itu adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.

Dalam dua hari itu,
kita saling kirim pesan.
Dan tahu tidak, Nak?
Dari semua hal yang kau katakan…
satu hal yang paling membuatku ingin menangis adalah ketika kamu memanggilku:
“Yaya.”

Ya Allah…
panggilan itu.
Panggilan yang selama ini hanya hidup dalam kenangan,
tiba-tiba terdengar lagi,
meskipun hanya lewat huruf-huruf di layar ponsel.

Kamu menanyakan kabarku.
Kamu bilang sedang bersiap untuk menjadi advokat.
Hatiku seperti hendak meledak karena haru.
Ternyata…
anakku tumbuh menjadi perempuan hebat,
cerdas, dan penuh semangat.

Semangat, sayang.
Semangat anakku.

Yaya akan selalu hadir,
meski tidak selalu terlihat.
Akan selalu mendukungmu,
meski tak selalu bisa dekat.
Dan akan selalu menyayangimu,
dengan cinta yang tak akan pernah habis—
bahkan jika dunia berhenti berputar.

Jika kamu membaca ini suatu hari nanti…
ketahuilah,
Yaya menulis ini dengan air mata yang jatuh satu per satu,
bukan karena sedih,
tapi karena bersyukur…
kamu masih mengingat Yaya.
Dan itu…
lebih dari cukup untuk menyembuhkan tahun-tahun yang pernah hilang.

Yaya mencintaimu, Nak.
Selalu.