Refleksi La Palellung – Di tengah gemuruh zaman dan derasnya arus modernitas, tak semua orang masih menoleh ke belakang, mencari akar, menapak jejak, atau sekadar bertanya dari mana dirinya berasal. Padahal, siapa kita hari ini adalah bagian dari kisah panjang orang-orang sebelum kita; dari darah yang mengalir, dari tutur yang diwariskan, dari nilai yang dijaga tanpa naskah.
Saya menulis ini bukan untuk menuntut pengakuan, bukan pula untuk menonjolkan garis keturunan. Saya menulis karena ada amanah yang diwariskan dalam diam. Karena saya percaya: sejarah yang tak diceritakan akan hilang, dan darah yang tak dijaga dengan adab hanya akan menyisakan kesombongan tanpa makna.
Maka izinkan saya berkisah, tentang siapa saya, dari mana saya berasal, dan mengapa saya memilih nama La Palellung, sebagai bentuk penghormatan pada leluhur dan ikhtiar menjaga warisan yang tak tertulis, tapi mengakar dalam setiap langkah.
Tentang Silsilah Keluarga
Nama kecil saya Arham, terlahir di Barru, besar dan menetap di Makassar, Sulawesi Selatan. Ayah saya bernama Abdul Mannan Syafei, atau yang akrab kami panggil dengan sebutan “Babba” atau “Abba”. Beliau adalah putra dari pasangan Haji Muhammad Syafei, yang kami sebut Petta Sapi’ dan Hj. I Tcambo’, yang kami kenal sebagai Petta Cambo’.
Sementara itu, ibu saya bernama Nurtina Mailang, putri dari pasangan La Mailang dan I Yomming.
Kakek saya, Petta Sapi’, adalah putra asli Kajuara, sebuah kampung tua yang dulunya dikenal dengan nama Ajjarenge, di wilayah yang kini menjadi Kabupaten Barru. Sedangkan nama “Barru” sendiri, dalam tutur orang tua, berasal dari nama lama yakni Berru. Meski tinggal dan dikenal dari Tanete, salah satu kecamatan di Barru, kakek saya berdarah Luwu. Buyut saya (ayah dari Petta Sapi’) bernama La Lellung, sebuah nama yang terus kami jaga sebagai bagian dari jati diri keluarga.
Petta Cambo’, nenek saya dari pihak ayah, memiliki darah Soppeng. Ia adalah putri dari pasangan La Tappu dan Pua Ninni I Banuna, yang berasal dari Kampung Mong, wilayah yang kini masuk dalam Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng. Menurut tutur keluarga, La Tappu dan I Banuna hidup pada masa pra-modern atau masa kerajaan atau masa penjajahan. Mereka kemudian berpindah ke Bujung Lompoe Atakka, dan selanjutnya ke Kampung Lenrang, tempat peninggalan mereka masih bisa dikenang berupa hamparan sawah dan tujuh sumur yang dikenal sebagai Bujung Pitue.
Pasangan La Tappu dan I Banuna memiliki empat orang anak: I Sitti, I Saebu, I Tcambo (nenek dari pihak ayah saya), dan I Yomming (nenek dari pihak ibu saya). Artinya, ayah dan ibu saya adalah sepupu satu kali, berasal dari kakek/nenek yang sama, yakni La Tappu dengan I Banuna.
Menurut tutur keluarga yang diwariskan secara lisan, Pua Ninni I Banuna bertrah darah dari Arung/Datu Bakke dan Arung Kawukawu.
Arung Kawukawu memiliki nama La Tenri Attolang atau La Tenriola. Bahkan, dalam kisah yang kami simpan dengan penuh hormat, bendera kerajaan Arung Bakke terakhir disimpan dan dijaga oleh Pua Ninni I Banuna, sebuah tanda warisan kehormatan yang diwariskan secara turun-temurun.
Siapa nama Arung/Datu Bakke?, selanjutnya saya akan kupas dikesempatan lain.
Lalu siapa La Tappu suami dari Pua Ninni I Banuna?
Lalu, mengapa banyak rumpun keluarga kami berada di Coppo Bukkang, Bila, Kabupaten Soppeng? Itu karena ibu saya, Nurtina, menikah dengan lelaki bernama La Mailang bin Lantu. Kakek dari pihak ibu saya, yakni Lantu, memiliki tujuh saudara laki-laki yang seluruhnya menetap di Bila, dan dari sanalah salah satu cabang keluarga besar kami bertumbuh hingga kini.
Tentang Jejak La Lellung
Kakek buyut saya, La Lellung, konon tersambung garis lurus ke salah seorang Raja Bugis yang cukup dikenal dan berpengaruh. Ketersambungan itu berasal dari orang tua La Lellung yang berasal dari Kerajaan Tanete. Meski demikian, saya belum mau menuliskannya secara pasti di sini dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, ketersambungan itu secara data lontara belum bisa saya buktikan, meskipun secara pitutur keluarga saya bisa membuktikan garisnya. Kedua, sungguh berat menyandang nama sebagai keturunan raja, dan saya tidak ingin dipandang sedang memburu pengakuan atau kehormatan sebagai keturunan bangsawan.
Namun jejak itu seperti berulang, bapak saya, A. Mannan Syafei, menjadi kepala kampung di Seppe’e, yang juga bagian dari Ajjarenge/Kajuara, selama lebih dari 13 tahun. Beliau dikenal dan dicintai rakyatnya. Lalu paman saya, menjadi Camat Tanete, daerah asal yang sama.
Saya sudah sangat bersyukur dengan jati diriku saat ini. Terlahir dan dibesarkan oleh kedua orang tua serta dari kakek-nenek yang mendidik saya dengan pangadereng (adab). Cukup saya jaga amanah warisan yang mereka titipkan:
“Darah itu tetap mengalir dalam darahmu. Meskipun engkau tidak menggunakan gelar kebangsawanan, namun ia akan mengalir dalam perbuatan dan ucapanmu. Maka jagalah adab dan tuturmu, karena ampe-ampemu ri papuangimu (bahasa Bugis), yang berarti: hanya ucapan dan perbuatanmu yang selaras, itulah kebangsawananmu.”
Jadi, jika dalam catatan saya sering mengulas tentang warisan dan budaya, maka itu bukan karena saya ingin diakui, melainkan saya menjaga warisan dan pesan amanah itu agar suatu saat bisa menjadi pengetahuan dan inspirasi bagi anak-anak saya. Saya ingin menorehkan sejarah untuk mereka, dengan karya dan adab.
Dan jika saya menggunakan nama “La Palellung”, maka itu sudah sangat tepat. Ia adalah kombinasi dari nama leluhur saya dan jalan hidup saya sebagai seorang pemburu kebaikan dalam sunyi maupun terang.
Tulisan ini bukan sekadar silsilah keluarga. Ia adalah napas sejarah dan nilai yang ingin saya teruskan. Di masa ketika banyak orang membanggakan nama besar namun melupakan akhlak dan tanggung jawab sosial, saya memilih merawat akar, namun tumbuh menjulang dengan nilai-nilai baru, berpijak pada tanah, namun menatap langit.
Semoga kelak anak cucu saya membaca ini dan tahu, bahwa darah yang mengalir dalam tubuh mereka bukanlah untuk disombongkan, melainkan untuk dipertanggungjawabkan dengan adab, akhlak, dan kebermanfaatan.*