Narasi AMSINet Media – Korupsi di kalangan pemimpin daerah masih menjadi luka yang terus menganga dalam sistem pemerintahan kita. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, banyak kepala daerah justru berubah menjadi perampok anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan. Ini bukan sekadar isu hukum, tetapi juga persoalan moral dan mentalitas kepemimpinan di negeri ini.
Yang lebih menyedihkan, ketika seorang kepala daerah tersangkut kasus korupsi, respons masyarakat sering kali terbagi dua. Ada yang tetap membela, menganggapnya sebagai korban rekayasa politik, sementara yang lain mulai sadar dan menuntut keadilan. Namun, sering kali, kepala daerah yang sudah jelas-jelas terbukti melakukan korupsi masih bisa mencalonkan diri dan bahkan menang lagi di pilkada berikutnya.
Mengapa Kepala Daerah Mudah Terjerumus Korupsi?
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan korupsi merajalela di kalangan kepala daerah:
1. Biaya Politik yang Sangat Tinggi
Untuk menjadi bupati atau wali kota, seorang kandidat harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit—mencapai miliaran rupiah. Sementara gaji resmi seorang kepala daerah dalam satu tahun mungkin hanya ratusan juta. Akibatnya, begitu menjabat, mereka sibuk mencari cara untuk “balik modal” dan bahkan mencari keuntungan lebih. Sayangnya, sumber dana yang paling mudah mereka akses adalah APBD.
2. Peluang Korupsi yang Terbuka Lebar
Banyaknya celah dalam regulasi membuat korupsi di daerah semakin mudah dilakukan. KPK pernah mengungkap bahwa kepala daerah sering menggunakan modus seperti mark-up proyek pengadaan barang dan jasa atau memanfaatkan dana hibah dan bansos untuk kepentingan pribadi. Yang paling sering terjadi, anggaran daerah digunakan untuk kepentingan pilkada bagi calon petahana.
3. Lemahnya Pengawasan di Daerah
Jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah sering kali dikuasai oleh orang-orang yang loyal kepada kepala daerah. Ketika ada penyimpangan, sanksinya hanya sebatas teguran atau administratif, tanpa efek jera. Lembaga pengawas seperti inspektorat daerah pun sering kali tidak berdaya atau malah ikut terlibat dalam praktik kotor ini.
4. Buruknya Rekrutmen Kepala Daerah oleh Parpol
Banyak partai politik tidak peduli dengan integritas kandidat yang mereka usung. Selama ada mahar politik yang dibayar, mereka akan mendapat tiket untuk maju di pilkada. Ini menjadi alasan mengapa banyak kepala daerah yang akhirnya berurusan dengan hukum. Bahkan, ada partai yang masih mendukung kadernya untuk maju lagi meski sudah berstatus tersangka kasus korupsi.
Solusi: Bagaimana Mencegah Korupsi Kepala Daerah?
Jika kita ingin memberantas korupsi di tingkat daerah, ada beberapa langkah yang harus dilakukan:
1. Efisiensi biaya politik – Pilkada serentak bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya kampanye yang terlalu tinggi.
2. Penghapusan bansos saat pilkada – Agar kepala daerah tidak memanfaatkan dana bantuan untuk kepentingan elektoral.
3. Reformasi partai politik – Parpol harus lebih selektif dalam memilih calon kepala daerah, bukan sekadar melihat siapa yang punya uang paling banyak.
4. Pengawasan ketat – Peran masyarakat, media, LSM, dan akademisi sangat penting dalam mengawal kebijakan serta mengungkap dugaan korupsi sejak dini.
5. Revisi undang-undang pilkada – Syarat integritas harus diperketat. Seorang tersangka atau terdakwa kasus hukum seharusnya tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Lebih dari itu, masyarakat juga harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Jangan mudah terbuai dengan janji-janji manis atau politik uang. Jika kita ingin daerah kita maju dan sejahtera, maka kita harus memastikan bahwa pemimpin yang kita pilih adalah mereka yang benar-benar bersih dan berkomitmen melayani rakyat, bukan sekadar mencari keuntungan pribadi.
Korupsi di daerah bukan hanya soal hukum, tetapi juga tentang nasib dan masa depan rakyat. Mari kita lawan bersama! Catatan Bang AMSi La Palellung