Narasi AMSINet Media – Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya politik di Indonesia sangat tinggi, terutama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tingginya biaya ini menjadi pintu masuk praktik korupsi, di mana calon terpilih merasa harus mengembalikan modal kampanye dan membalas budi kepada para penyandang dana yang telah membantu mereka meraih kekuasaan.
Pilkada Mahal dan Biaya Politik yang Tak Terkendali
Fenomena politik berbiaya tinggi semakin menjadi perhatian, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024. Seorang calon bupati/wali kota membutuhkan Rp20–30 miliar, sedangkan calon gubernur bisa mencapai Rp50–100 miliar. Angka ini jauh melampaui penghasilan resmi seorang kepala daerah, yang dalam setahun hanya berkisar ratusan juta rupiah.
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak Pilkada langsung pertama pada 2004 hingga 2023, lebih dari 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa ongkos politik yang mahal berbanding lurus dengan tingkat korupsi di daerah.
Sumber pendanaan Pilkada ini berasal dari berbagai elemen, di antaranya:
1. Biaya politik resmi – meliputi dana kampanye, saksi, alat peraga, dan operasional tim sukses.
2. Politik uang – termasuk “mahar” ke partai politik pengusung, “serangan fajar,” hingga pembelian suara masyarakat.
3. Dukungan cukong – pengusaha atau kelompok kepentingan yang membiayai kampanye dengan harapan mendapatkan keuntungan bisnis dari kebijakan calon yang mereka dukung.
Sumber dana ketiga ini yang paling berbahaya karena membuka ruang bagi korupsi kebijakan. Kepala daerah yang terpilih akan merasa berutang budi kepada para penyokongnya dan akhirnya menerbitkan izin usaha, proyek infrastruktur, atau kebijakan lain yang menguntungkan cukong tersebut.
Korupsi Kebijakan, Ancaman Nyata bagi Demokrasi
Korupsi di tingkat daerah tidak hanya berbentuk penggelapan anggaran (mark-up proyek, dana hibah, atau dana bansos), tetapi juga korupsi kebijakan. Inilah yang lebih berbahaya karena dampaknya jangka panjang dan sulit dideteksi.
Beberapa bentuk korupsi kebijakan yang sering terjadi di daerah:
Penerbitan izin eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang, dan lahan pertanian) untuk cukong.
Ijon proyek APBD – proyek-proyek sudah “dijual” sebelum dijalankan, dengan setoran awal dari kontraktor.
Rekayasa regulasi dan kebijakan daerah yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, bukan rakyat.
Korupsi kebijakan inilah yang merusak sistem demokrasi. Para kepala daerah yang berutang budi kepada cukong akan lebih loyal kepada pemodal dibandingkan rakyat yang memilihnya. Akibatnya, kebijakan pembangunan daerah tidak berpihak pada kepentingan publik, melainkan pada keuntungan elite tertentu.
Kelemahan Regulasi dan Pengawasan
Meskipun sudah ada aturan ketat soal pendanaan Pilkada, implementasinya masih lemah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada memang mengatur soal pembatasan dana kampanye. Namun, laporan dana kampanye sering tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Audit dana kampanye oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya memeriksa laporan formal, tanpa investigasi mendalam.
Sumbangan dari pihak swasta masih diperbolehkan hingga Rp75 juta per individu dan Rp750 juta per badan usaha—angka yang masih terlalu besar dan membuka celah bagi cukong untuk “membeli” kepala daerah.
Kelemahan lain adalah relasi patron-klien antara kepala daerah dan para pemodalnya. Politisi yang dibiayai cukong akan tunduk pada kepentingan mereka, bukan pada rakyat. Akibatnya, kebijakan daerah sering kali hanya menguntungkan segelintir orang yang memiliki akses ke penguasa.
Solusi: Reformasi Pembiayaan Politik
Untuk mengatasi fenomena ini, beberapa langkah harus segera dilakukan:
1. Pembiayaan politik oleh negara – Negara harus berani mengalokasikan dana kampanye resmi bagi calon kepala daerah agar mereka tidak bergantung pada cukong.
2. Pelarangan sumbangan dari perusahaan swasta – Ini penting untuk menghilangkan potensi konflik kepentingan.
3. Batasan belanja kampanye yang lebih ketat – Saat ini, pengeluaran kampanye masih tidak terkontrol dengan baik.
4. Audit investigatif dana kampanye – Tidak hanya berdasarkan laporan kandidat, tetapi juga dilakukan pemeriksaan independen terhadap aliran dana kampanye.
5. Penguatan pengawasan dan sanksi tegas – Partai politik yang menerima “mahar politik” seharusnya mendapatkan sanksi berat, bukan sekadar teguran administratif.
Kesimpulan:
Demokrasi yang Sehat Butuh Pemimpin Bersih
Biaya politik yang tinggi adalah akar dari banyak kasus korupsi kepala daerah. Jika tidak ada reformasi serius dalam sistem pembiayaan politik, maka Pilkada akan terus menjadi ajang “investasi” bagi cukong, dan rakyat hanya menjadi korban dari kepentingan elite politik.
Demokrasi yang sehat tidak hanya ditentukan oleh seberapa transparan proses pemilu, tetapi juga oleh bagaimana pemimpin yang terpilih benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk membayar utang politiknya. Oleh karena itu, masyarakat juga harus lebih kritis dalam memilih pemimpin dan tidak tergoda oleh politik uang.
Jika tidak ada perubahan dalam sistem ini, maka lima tahun ke depan hanya akan menjadi pengulangan siklus yang sama: korupsi untuk balik modal, lalu korupsi lagi untuk modal Pilkada berikutnya. Catatan Bang AMSi La Palellung