Narasi AMSINet Media – Dalam sistem demokrasi, idealnya kepemimpinan lahir dari kehendak rakyat yang memilih berdasarkan visi, integritas, dan kapasitas seorang calon. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berkata lain. Proses pemilihan kepala daerah, bahkan hingga level bupati sekalipun, telah menjadi ajang pertarungan modal yang luar biasa besar. Untuk bisa terpilih, seorang calon bupati bisa menghabiskan puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Pertanyaannya: mengapa biaya politik begitu mahal? Dan lebih penting lagi, apa dampaknya bagi masa depan daerah dan rakyat yang mereka pimpin?
Mengapa Biaya Politik Begitu Mahal?
Sistem politik kita telah berkembang menjadi arena kompetisi yang lebih menitikberatkan pada kekuatan uang daripada gagasan dan integritas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya biaya politik:
1. Ongkos Mencari Dukungan Partai
Partai politik memiliki peran sentral dalam pencalonan. Dalam banyak kasus, mendapatkan rekomendasi dari partai bukanlah soal kapasitas atau dedikasi, melainkan soal kesanggupan memenuhi mahar politik yang tidak sedikit.
2. Kampanye yang Mahal dan Transaksional
Untuk menarik dukungan rakyat, para calon harus melakukan kampanye besar-besaran, termasuk memasang baliho, iklan di media, hingga mendistribusikan bantuan dalam berbagai bentuk. Sayangnya, dalam praktiknya, politik transaksional sering terjadi, di mana suara rakyat ‘dibeli’ dengan uang tunai, sembako, atau janji-janji ekonomi jangka pendek.
3. Biaya untuk Tim Sukses dan Logistik
Calon pemimpin tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus membiayai tim sukses, relawan, hingga jaringan politik di tingkat akar rumput. Semakin luas cakupan pengaruhnya, semakin besar biaya yang dibutuhkan.
4. Perlunya ‘Modal Balik’ bagi Pemodal Besar
Tidak sedikit kandidat yang didukung oleh para cukong atau pengusaha besar yang mengharapkan keuntungan dari kemenangan calon yang mereka danai. Hal ini menciptakan ketergantungan yang berbahaya antara pemimpin terpilih dan kelompok oligarki.
Bahaya Pemimpin dengan Biaya Politik Tinggi
Ketika seorang calon bupati, wali kota, atau gubernur mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan miliar hanya untuk meraih jabatan, konsekuensi yang terjadi setelah mereka menang bisa ditebak: mereka akan berusaha mengembalikan modal secepat mungkin. Hal ini menimbulkan berbagai ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang baik.
1. Korupsi Merajalela
Jabatan yang diraih dengan ongkos besar bukan lagi dianggap sebagai amanah, tetapi sebagai investasi. Pemimpin yang demikian akan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik melalui proyek-proyek fiktif, mark-up anggaran, hingga jual beli jabatan.
2. Kebijakan Tidak Pro-Rakyat
Karena harus mengembalikan modal politik, kebijakan yang diambil sering kali lebih berpihak kepada kepentingan para pemodal daripada kepentingan rakyat. Misalnya, proyek infrastruktur diberikan kepada kontraktor tertentu yang berkontribusi dalam kampanye, bukan berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat.
3. Beban Anggaran Daerah
Demi menutupi biaya politik yang tinggi, tidak jarang kepala daerah menyalahgunakan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Alih-alih digunakan untuk pembangunan, dana daerah dialihkan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan masuk ke kantong pribadi.
4. Hancurnya Integritas Pemerintahan
Pemimpin yang terpilih dengan cara seperti ini tidak akan segan untuk membangun birokrasi yang korup. Mereka akan menempatkan orang-orang yang loyal secara politik, bukan yang kompeten, demi memastikan keberlangsungan kekuasaan mereka.
5. Munculnya Politik Dinasti dan Oligarki
Karena membutuhkan modal besar, hanya mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan jaringan politik yang bisa bertarung. Akibatnya, demokrasi tidak lagi menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaik, tetapi menjadi ajang perebutan kekuasaan oleh kelompok yang itu-itu saja, menciptakan politik dinasti dan oligarki yang semakin mengakar.
Motivasi di Balik Pemimpin dengan Biaya Politik Tinggi
Jika demokrasi yang sehat mendorong kepemimpinan yang berbasis pengabdian, maka demokrasi yang mahal justru melahirkan pemimpin yang memiliki motif ekonomi dan kekuasaan. Ada tiga motivasi utama yang biasanya mendasari pemimpin dengan biaya politik tinggi:
1. Mengamankan Akses terhadap Sumber Daya
Dengan menjadi kepala daerah, mereka memiliki kendali atas anggaran, proyek, dan sumber daya daerah. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk mengontrol ekonomi lokal demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
2. Membangun Jaringan Kekuasaan
Kekuasaan sering kali digunakan untuk memperluas pengaruh politik, baik untuk kepentingan pribadi di masa depan maupun untuk membangun dinasti politik yang bisa diwariskan kepada keluarga dan kerabat.
3. Menggunakan Jabatan sebagai Sarana untuk Keuntungan Pribadi
Jabatan dipandang sebagai jalan untuk memperkaya diri, baik melalui praktik korupsi, nepotisme, maupun permainan proyek yang menguntungkan diri sendiri dan kroni-kroninya.
Solusi: Mencegah Demokrasi dari Cengkeraman Kapital
Untuk mencegah semakin merajalelanya politik mahal yang berujung pada kepemimpinan yang korup, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Menerapkan Transparansi dalam Pendanaan Politik
Setiap calon pemimpin harus melaporkan sumber dana kampanye mereka secara transparan, dan ada regulasi ketat untuk membatasi dana yang bisa digunakan dalam pemilu.
2. Memperketat Pengawasan Partai Politik
Partai politik harus lebih selektif dalam memilih calon, bukan berdasarkan siapa yang mampu membayar mahar politik, tetapi berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan integritas.
3. Menghapus Politik Uang dalam Pemilu
Masyarakat harus dididik agar tidak memilih pemimpin yang mengandalkan politik uang. Regulasi yang lebih ketat juga harus diterapkan untuk menindak tegas praktik politik transaksional.
4. Meningkatkan Peran Masyarakat dalam Pengawasan
Rakyat harus lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan keterbukaan informasi, masyarakat bisa menekan pemimpin agar bertindak sesuai kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Kesimpulan
Demokrasi mahal adalah ancaman bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ketika pemimpin terpilih dengan biaya yang tinggi, maka kepemimpinan bukan lagi soal pelayanan, tetapi soal investasi yang harus dikembalikan. Akibatnya, korupsi menjadi keniscayaan, kebijakan menjadi alat bagi oligarki, dan rakyat hanya menjadi penonton dari drama kekuasaan yang tidak berkesudahan.
Jika kita ingin menyelamatkan demokrasi dan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar bekerja untuk rakyat, maka kita harus melawan sistem politik yang menjadikan uang sebagai penentu utama kemenangan. Demokrasi yang sehat harus dibangun di atas integritas, transparansi, dan akuntabilitas—bukan di atas tumpukan uang dan kepentingan segelintir elite. Catatan Bang AMSi La Palellung