Narasi AMSINet Media – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diikuti oleh pengusaha atau kontraktor dapat menimbulkan kekhwatiran atau sejumlah masalah serius, terutama jika mereka terpilih menjadi kepala daerah (Gubernur atau Bupati).
Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi terjadinya konflik kepentingan. Seorang kepala daerah yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha mungkin akan menghadapi dilema dalam membuat keputusan yang adil dan tidak memihak. Alih-alih mengutamakan kepentingan masyarakat, kebijakan yang diambil mungkin lebih condong untuk menguntungkan kepentingan bisnis pribadi atau kelompok tertentu.
Mengutip perkataan Deputi Pencegahan KPK RI Pahala Nainggolan dalam konferensi pers, Jumat (4/12/2020) lalu, ia mengatakan, ada dua hal yang menjadi kekhawatirannya dengan banyaknya calon kepala daerah berlatar belakang pengusaha.
“Pertama, adanya kekhawatiran bahwa kepala daerah tersebut akan menguntungkan Perusahaan pribadinya kelak jika terpilih. Hal itu berpotensi menyebabkan kegiatan pengadaan barang/jasa di daerah menjadi tidak adil karena Perusahaan lain enggan mengikuti lelang. Kedua, calon kepala daerah dengan latar belakang pengusaha/swasta umumnya belum begitu memahami dunia birokrasi,” dikutip dari Kompas.com.
Selain berlatar belakang pengusaha, penulis juga mennyampaikan kekhawatirannya jika terdapat cukong (pemilik modal) ikut serta dalam pembiayaan kampanye. Pembiayaan kampanye oleh cukong pilkada turut menjadi contributor yang dapat mengakibatkan masalah serius. Calon kepala daerah yang dibiayai oleh cukong pilkada seringkali merasa terikat untuk membalas dukungan tersebut dengan kebijakan atau proyek yang menguntungkan bagi penyandang dana mereka.
Hal ini tentunya dapat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan wewenang, di mana keputusan publik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok, bukan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dalam jangka panjang, ketergantungan pada dana dan dukungan dari pihak-pihak tertentu dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak berkelanjutan dan merugikan. Proyek-proyek yang diimplementasikan mungkin lebih fokus pada keuntungan jangka pendek bagi pengusaha daripada pembangunan infrastruktur yang berkualitas dan berkelanjutan. Akibatnya, masyarakat dapat mengalami kerugian dalam bentuk layanan publik yang buruk, penurunan kualitas infrastruktur, dan kurangnya perhatian terhadap isu-isu sosial penting.
Terlebih lagi, fenomena ini dapat memperburuk citra pemerintah daerah di mata publik. Masyarakat mungkin merasa skeptis terhadap integritas pemerintah dan enggan berpartisipasi dalam proses demokrasi jika mereka merasa suara mereka tidak didengar dan hanya diwakili oleh kepentingan segelintir orang.
Dengan demikian, penting untuk memastikan bahwa proses Pilkada berlangsung secara adil dan transparan, dengan calon-calon yang memiliki komitmen yang kuat terhadap kepentingan rakyat, memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi dan bukan sekadar melayani kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Penulis membayangkan, “jika dirinya seorang kontraktor atau kampanyenya dibiayai oleh cukong, lalu kepilih menjadi kepala daerah. Sulit untuk tidak mendahulukan Perusahaan saya atau cukong saya. Perusahaan saya akan saya berikan kepada istiri, anak atau saudara-saudara/kerabat saya untuk menajalankannya.”
Penegakan aturan dan pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pengaruh buruk dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis dalam pilkada.* Catatan Bang AMSi La Palellung