banner 970x250

Jejak Langkah Arham MSi La Palellung: Dari Rumah Kecil Menuju Visi Besar

Rumah itu kecil. Sangat kecil. Tak ada kamar, hanya satu ruangan besar dengan sekat seadanya. Dari luar, rumah panggung itu tampak goyang, seolah siap rubuh kapan saja. Tapi di dalamnya, ada keteguhan, ada harga diri, ada prinsip hidup yang tak tergoyahkan.

Di rumah itulah aku dilahirkan, di tengah keluarga sederhana yang hidup dari gaji PNS golongan rendah dan usaha kecil-kecilan ibuku, membuat kue dan menjahit pakaian. Meski kakekku, Petta H. Sapi’, adalah seorang pedagang besar yang memiliki sawah luas, kebun subur, bahkan pernah memiliki kapal laut dan pabrik gabah, ayahku memilih jalan berbeda. Ia menolak hidup dari warisan.

“Nak, kalian bertiga itu, sejak sekolah hingga mau selesai kuliah, tidak pernah ada bantuan biaya dari keluarga. Tidak pernah kamu makan makanan selain nasi. Maka jika warisan itu membuat silaturahmi dengan paman dan tante kalian terputus, biarlah kami tidak mendapatkannya. Kuliahlah, kami masih mampu membiayaimu.”

Aku tak pernah lupa kalimat itu. Ayahku mengajarkan satu hal yang tertanam dalam benakku: harga diri lebih berharga dari harta warisan.

*Jiwa Pemimpin dari Ayah, Jiwa Bisnis dari Kakek dan Ibu*

Selain seorang PNS, ayahku juga Kepala Kampung di Sepee, Barru, selama 13 tahun. Ia membangun jalan, merenovasi masjid, bahkan mendapat penghargaan dari pemerintahan Orde Baru atas jasanya. Ia dihormati bukan karena kekayaannya, tapi karena integritasnya.

Jiwa kepemimpinan itu mengalir dalam darahku. Tapi jiwa bisnis? Itu datang dari ibuku dan kakekku.

Sejak kecil, aku sudah terbiasa menjual kue buatan ibu ke sekolah-sekolah. “Makan kue juga dapat uang jajan,” pikirku saat itu. Naluri dagangku semakin terasah ketika aku sering ikut kakek ke pasar beras di Makassar.

Tapi bukan hanya kue atau beras. Aku menjual apa saja. Pernah, aku berkeliling kampung menjual ayam kampung. Sampai suatu hari, aku mengetuk sebuah pintu, dan yang membukakan adalah seorang gadis—teman sekolahku sendiri! Aku mendadak kikuk dan malu. Tapi aku segera mengambil tindakan penyelamatan diri:

“Saya butuh ayam banyak karena ada acara di rumah.”

Aku mungkin malu saat itu, tapi ada kebanggaan yang lebih besar. Dari hasil jualan ayam, aku membelikan kakek sebuah payung agar ia bisa berjalan ke masjid tanpa kehujanan.

Aku belajar sesuatu: kerja keras sekecil apa pun, jika dilakukan dengan niat baik, pasti membawa kebahagiaan.

Dari “Angko” Hingga Juara Catur

Lulus SMP, aku mendapat kepercayaan besar: mengelola Primer Koperasi Kepolisian (Primkopol) Barru—sebuah usaha yang menjual elektronik dan kebutuhan rumah tangga untuk anggota kepolisian. Aku masih sekolah di SMEA saat itu, tapi sudah pegang bisnis sendiri.

Karena sering berdagang, teman-temanku menjulukiku “Angko”—panggilan untuk pengusaha keturunan Tionghoa. Padahal di Barru saat itu, hampir tidak ada keturunan Tionghoa yang berbisnis.

Masa SLTA adalah masa penuh gaya. Aku ikut tren modeling, selalu tampil rapi, dan dijuluki “pria paling necis” di kelas. Tapi bukan hanya soal penampilan, aku juga juara catur tingkat SLTA Kabupaten Barru, hingga mendapat beasiswa gratis SPP dari sekolahku.

Kuliah dan Kemandirian Sejati

Setelah tamat SLTA, aku melanjutkan kuliah. Saya ingin sekali masuk ke Fakuktas Hukum, namun takdir berkata lain saya dimasukkan di Fakultas Ekonomi UMI, meski awalnya masuk Sastra Asing. Tapi sejak awal, aku tahu bahwa aku tidak bisa hanya mengandalkan uang orang tua. Aku harus mandiri.

Aku membuka jasa pemesanan tiket pesawat dan kapal laut, bermitra dengan PT Lajoa Sari Travel. Uang dari usaha ini cukup untuk membiayai kuliahku. Tak berhenti di situ, aku juga merintis bisnis pengiriman barang ke Papua—membeli barang di Makassar dan mengirimkannya ke pelanggan di sana.

Saat itu, aku sudah punya handphone berbasis AMPS—sebuah kemewahan pada zamannya. Aku juga punya pager Starco, yang biasa digunakan para pebisnis dan eksekutif. Banyak yang mengira aku sudah jadi manajer perusahaan.

Tapi sesungguhnya, semua itu hasil kerja kerasku sendiri. Aku jual barang kredit, jual hasil bumi, jual pakaian bekas, hingga jual ikan kering. Bahkan, pernah menjadi tukang batu sehari.

Di bawah terik matahari, dengan tangan yang melepuh menggali pondasi rumah, aku merintih dalam hati:

“Ya Allah, semoga anak keturunanku tidak ada yang bekerja seberat ini. Sungguh sangat berat!”

Itu bukan keluhan. Itu doa.

Dari Tukang Batu ke Supermarket Elite

Selain berbisnis, aku juga pernah bekerja di supermarket pertama di Makassar—Gelael. Perusahaan asing ini terkenal ketat dalam merekrut karyawan, dan aku diterima karena kemampuan bahasa Inggrisku. Aku melayani pelanggan wisatawan asing, belajar disiplin kerja, dan memahami standar pelayanan profesional.

Tahun 1998, aku resmi menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE). Tapi perjuanganku belum selesai.

Ini baru permulaan.

Bersambung ke kisah selanjutnya: Usai S1, Menikah dan Menghadapi Ombak Besar Kehidupan

Catatan Tim Jurnalis AMJI RI