Jejak Tutur – Saya lahir dan tumbuh besar di kota. Dalam hiruk pikuk modernitas, saya dibesarkan dalam keluarga yang tak pernah menjadikan silsilah atau gelar kebangsawanan sebagai bahan obrolan sehari-hari. Saya menyelesaikan kuliah, menikah, dan menempuh kehidupan seperti kebanyakan orang, tanpa pernah merasa punya kaitan khusus dengan kebesaran masa silam. Adat dan budaya? Apalagi gelar kebangsawanan? Tak pernah menarik perhatian saya, hingga suatu hari, tutur yang lembut dari ibu membuka lembar demi lembar kisah yang tersembunyi.
“Nak’, leluhurmu itu darah bangsawan,” ucap Ibu, sambil menyebut dua nama yang sarat makna dan bergelar. Saya terdiam. Muncul pertanyaan yang selama ini tak pernah saya pikirkan: “Kalau begitu… kenapa kita tidak menggunakan gelar itu, Ma?”
Ibu tersenyum, lalu menjawab dengan lembut, “Nak, darah kebangsawanan seseorang itu tidak akan pernah hilang. Ia tetap mengalir dalam dirimu. Tapi, peliharalah akhlak dan adabmu, karena hanya itu yang membuat darah bangsawan tetap hidup. Bukan gelar di depan nama.”
Ia menambahkan dengan nada tenang namun mengandung makna yang dalam: “Dan mungkin nanti kamu tidak menggunakan gelar itu, tapi kelak bisa saja kamu menikah dengan perempuan yang bergelar, dan saat itu darahmu akan menemukan jalannya sendiri…”
Saya jadi teringat masa remaja. Saat SMA, saya pernah jatuh hati pada seorang perempuan. Saya ceritakan pada Ibu, dengan polos berkata, “Ma, si Fulanah itu cantik ya…” Ibu memandang saya sebentar, lalu berkata: “Iyya nak, tapi jika kita hidup di zaman dahulu, kamu tidak bisa menikahinya.”
Saya terkejut. “Kenapa?” tanyaku penasaran.
Ibu menjawab dengan nada serius, “Nak, jangan marah ya… sebenarnya ini dosa untuk disebut, tapi leluhur si Fulanah itu bekas ata (hamba sahaya) dari leluhurmu. Dalam adat dulu, itu tidak diperkenankan.”
Seketika, saya mengerti bahwa darah bangsawan bukan sekadar cerita heroik, tetapi juga memuat tanggung jawab moral dan sejarah yang kompleks. Tutur ini tetap ditanamkan sebagai pengingat, bukan untuk menyombongkan diri, tapi agar saya paham garis sejarah kami.
Suatu kali, Ibu menuturkan lagi kisah penting. Ketika Islam mulai masuk ke wilayah kita, leluhur saya diperlihatkan, entah lewat mimpi atau isyarat ruhani, betapa sombongnya kalangan bangsawan yang tak memanusiakan manusia. Mereka memperdagangkan kehormatan, memperlakukan orang dengan hina. Dan saat itulah, leluhur kami memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanan mereka. Semua atribut, pakaian, simbol, bahkan benda-benda pusaka, dialirkan ke sungai. Sebagai tanda: “Kami kembali ke fitrah manusia biasa.”
Sejak itu, satu pesan selalu diulang oleh orang tua saya:
“Nak, jangan pernah panggil seseorang dengan gelarnya kalau kamu tidak tahu siapa dia. Gelar itu milik keluarga, bukan untuk dibanggakan di luar. Di luar itu, kita sama sebagai manusia hamba Allah SWT.”
Pernah pula saya diberi penanda oleh orang tua:
“Nak, jika kamu suatu hari menemukan makam dengan dua batu nisan dan di dalamnya laki-laki, maka itu adalah keluarga kita. Kalau tiga batu nisan dan perempuan di dalamnya, itu juga leluhur kita.”
Saya pun mencoba menelusuri. Di suatu daerah, saya bertemu dengan orang tua bijak yang paham sejarah. Saya ceritakan tentang tanda batu nisan itu. Dia memandang saya, lalu berkata, “Dek, kalau begitu, kamu ini bertrah darah bangsawan. Itu adalah salah satu penanda leluhurmu. Dan kalau kamu mau gunakan gelarmu, itu hakmu. Tapi kalau tidak, itu lebih baik lagi, karena leluhurmu telah membuangnya untuk sesuatu yang lebih tinggi: keimanan.”
Dan dia melanjutkan dengan kalimat yang membuat dada saya bergetar:
“Leluhurmu itu penegak kebenaran. Maka jika kamu berjalan dan berjuang dengan kebenaran, siapa pun yang ada di depanmu akan kamu lawan dan kamu tabrak, tanpa pandang siapa dia. Tapi kalau kamu berjalan dengan ketidakbenaran, maka kamu akan tumbang dengan sendirinya.”
Dan di situlah saya berdiri hari ini. Bukan untuk mencari pengakuan. Saya tidak haus akan gelar, tidak mengejar pengakuan dari manusia. Karena saya yakin, darah itu mengalir. Yang saya jaga hanya satu: akhlaq dan adab. Sebab itu warisan sejati. Dan jika pun saya disebut keturunan bangsawan, saya ingin itu terlihat dari laku, bukan dari nama.
Saya tidak ingin menyombongkan apa yang tidak saya bangun sendiri. Saya hanya ingin bermanfaat bagi sesama. Karena saya percaya, leluhur akan tetap hidup, selama anak cucunya tetap menebar kebaikan.
Dan tutur mereka, akan selalu saya rawat… dalam diam, dalam adab.
Lanjut nanti…
Ini baru awal dari tutur yang belum selesai.