Jejak Tutur – Dalam hidup ini, satu pertanyaan yang sering kali datang tanpa diundang adalah:
“Asalnya dari mana?”
Pertanyaan yang terdengar sederhana, tapi jawabannya tak selalu sesingkat itu, setidaknya tidak untukku.
-
- Apakah seseorang berasal dari tempat ia lahir?
- Apakah dari tempat ia tumbuh dan besar?
- Atau dari mana darah orang tuanya mengalir?
- Ataukah dari tanah yang memanggil langkahnya kembali berulang kali?
Sebagai La Palellung, saya memilih untuk tidak menjawab dengan satu titik. Karena bagiku, asal-usul bukan sekadar koordinat di peta, tapi jaringan makna yang terhubung antara tubuh, sejarah, dan takdir.
Saya lahir di Kota Barru—itulah akta kelahiranku. Tapi saya besar dan tumbuh di Makassar, kota modern yang membentuk pola pikir dan watakku. Secara administratif mungkin saya akan dicatat sebagai warga Makassar, tetapi secara emosional, ceritaku tidak sesederhana itu.
Orang tuaku, meskipun juga lahir di Barru, membawa darah dari dua arah sejarah: Soppeng dan Luwu.
Dari pihak bapak, kakekku adalah orang asli Kajuara, Barru, yang berasal dari Tanete Barru. Namun tutur leluhur berkata bahwa darah Luwu mengalir di tubuhnya. Bahkan ia sendiri berkata padaku: “Nak, saya ini dari Tanete, tapi darah saya Luwu.”
Sementara nenekku dari pihak bapak berasal dari kampung Mong Soppeng, memperkuat simpul darah Soppeng dalam hidupku.
Dari pihak ibu, lebih jelas lagi. Kedua orang tuanya berasal dari kampung Bila Soppeng dan kampung Mong Soppeng. Nenekku pernah berpesan padaku, “Kamu jalan-jalanlah ke Soppeng, karena di sana asalmu. Banyak saudara saya di sana. “Dan kemudian ia menambahkan, “Tapi ada juga darah Luwu saya.”
Tak berhenti di situ, tutur yang lain juga mengisahkan bahwa ada garis Mandar, dari Tanah Mamuju Sulawesi Barat, yang menjadi bagian dari tubuh sejarahku.
Dan seolah takdir mengikuti alur darah, perjalanan hidupku pun menapak jejak yang pernah diucap para leluhurku.
Ketika dewasa dan berkeluarga, saya sempat melupakan semua tutur itu. Tapi takdir mengajakku mengingatnya kembali, bukan lewat mimpi, tapi lewat realita tugas.
Saya ditugaskan ke Mamuju, Sulawesi Barat. Cukup lama saya menetap di sana hingga memiliki KTP Mamuju. Anehnya, masyarakat di sana menerimaku bukan sebagai pendatang, tapi seperti keluarga yang telah lama dinanti.
Tiba-tiba tutur tentang garis Mandar dari kakekku terngiang kembali. Saya pun diam-diam tersenyum: “Leluhurku benar.”
Lalu, saya ditugaskan lagi ke Soppeng. Hatiku bersorak, karena ini tanah yang disebut-sebut oleh nenekku. Dan di tanah itulah terukir sejarah, terangkai begitu banyak cerita dan kisah yang penuh suka-duka. (Akan dituturkan pada kisah selanjutnya)
Setelah itu, perjalanan menuntunku ke Palopo, ke jantung tanah Luwu. Di sanalah saya bekerja, hidup, dan bermasyarakat hingga bertahun-tahun. Saya bahkan memiliki KTP Palopo, dan masyarakat Luwu menganggapku sebagai bagian dari mereka.
Saya pun menjelajah seluruh wilayah Luwu: Palopo, Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur.
Di tiap tanah yang kupijak, seolah suara leluhur membisik: “Selamat datang kembali, nak.”
Saya mulai menyusun kembali potongan-potongan sejarah. Tanpa sadar, saya telah menginjak seluruh daerah yang disebut dalam tutur keluarga. Barru, Soppeng, Tanete, Luwu, Mamuju. Semuanya kini bukan hanya nama daerah di peta, tapi bagian dari tubuh perjalananku.
Jadi, dari mana aku berasal?
Saya dari Barru—karena saya lahir di sana.
Saya dari Makassar—karena di sanalah saya tumbuh, bekerja dan berkeluarga
Saya dari Soppeng—karena darah ibu dan nenekku mengalir dari sana.
Saya dari Luwu—karena darah kakekku dan garis leluhur juga ke sana.
Saya dari Mandar—karena ada jejak darah yang diam-diam menyatu.
Tapi lebih dari itu semua, saya berasal dari tutur. Dari warisan. Dari langkah-langkah yang tak kuatur, namun mengarah ke akar.
Itulah sebabnya saya tak memilih satu titik sebagai “daerah asalku.”
Karena akar-akar itu menjalar di banyak tanah, tapi semuanya bersumber pada satu hal: leluhurku.
Dan karena itu pula, saya menyebut diriku La Palellung, bukan karena gelar, tapi karena jejak. Karena sejarah yang hidup dalam darah, dan karena takdir yang tak pernah salah alamat.
- Asal kamu dari mana?..
- Jawabannya tergantung dari sudut pandang, apakah secara adat, hukum administrasi, atau sosial budaya.