Sudah terlalu lama rakyat di ujung lorong hanya menjadi angka dalam grafik pembangunan. Mereka difoto saat pembagian sembako, dijadikan latar belakang narasi kebijakan, namun tetap tercecer dari proses perencanaan.
Jika bicara strategi bangsa, mari letakkan satu pertanyaan di atas meja: untuk siapa semua ini dibangun?
Kebijakan publik kita hari ini, dari tingkat pusat hingga desa, masih banyak yang berangkat dari ruang rapat ber-AC tanpa mendengar desir keluh rakyat di emperan pasar. Lalu kita bertanya-tanya mengapa bantuan salah sasaran, proyek mubazir, dan program mandek, jawabannya jelas: karena rakyat hanya dijadikan objek, bukan subjek.
Kita perlu menggeser arah pembangunan dari “turun dari atas” menjadi “naik dari bawah.” Ini bukan retorika baru, tapi justru prinsip lama yang dilupakan: musyawarah dan partisipasi.
Strategi bangsa tidak bisa dibangun dari tumpukan kertas konsultan belaka. Ia harus menyerap suara tukang becak, ibu pengupas bawang, petani yang merintih karena pupuk, dan pelaku UMKM yang tercekik pinjaman berbunga.
Dan jangan lupakan satu elemen penting: kebijakan tanpa keberpihakan adalah kemunafikan. Kita tidak butuh banyak program, kita butuh keberanian untuk menegaskan siapa yang mau kita bela.
Negara ini tidak akan tumbang karena kritik, tapi bisa hancur karena diamnya kaum cendekia yang memilih aman saat rakyat tertindas.
Maka, dari sudut kampung, lorong-lorong kota, dan tepian pasar, mari kita bangun strategi bangsa yang bukan hanya kuat di atas kertas, tapi juga kokoh di dada rakyat.
Karena sejatinya, kekuatan negara tidak diukur dari tebalnya APBN, tapi dari keadilan yang dirasakan rakyat jelata.