banner 970x250

Catatanku: Ketika Langit Rindu Terbuka

Bagi sebahagian orang, cinta pertama adalah kisah asmara di masa muda. Tapi bagiku, Cinta pertamaku adalah suara mungil yang memanggil “yaya”.

Ada yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata,
Ada cinta yang tak bisa dinilai dengan logika.
Dan ada rindu… yang hanya bisa dititipkan pada langit,
karena bumi terlalu sempit untuk menampungnya.

Aku menulis ini bukan untuk mengeluh.
Bukan pula untuk menyalahkan siapa pun.
Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri,
dan pada satu nama yang selalu hidup dalam doaku: putriku.

Ghina Fasya Aulia ArhamGhina Ghefira Fadia Arham

Kisah ini dimulai jauh sebelum kau lahir.
Saat aku pertama kali tahu akan menjadi ayah,
aku berjanji pada diriku sendiri:
aku akan menjadi pelindung terbesarmu,
aku akan mencintaimu seperti bumi mencintai hujan,
tak pernah memilih kapan harus datang, tapi selalu setia menunggu.

Saat kau lahir, segalanya terasa sempurna.
Tangisan pertamamu adalah lagu paling indah yang pernah kudengar.
Tangismu adalah pengingat bahwa Tuhan telah menitipkan satu jiwa kecil dalam hidupku,
jiwa yang kelak akan memanggilku dengan sebutan yang paling kudamba:
Ayah.

Tapi hidup tidak berjalan seperti di dalam doa.
Perjalanan rumah tanggaku tak mampu bertahan.
Perceraian memisahkan kita, dan dalam satu momen yang sangat cepat,
aku kehilangan lebih dari sekadar pasangan,
aku kehilangan separuh duniaku… kamu.

Saat itu, kau masih sangat kecil.
Terlalu kecil untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara aku…
harus belajar menjadi ayah yang mencintai dalam diam,
menjaga dalam bayang,
dan memeluk dalam jarak.

Aku masih ingat betul pagi terakhir itu.
Kita baru bangun tidur.
Aku mencium keningmu,
dan dengan senyum malu kamu berkata:
“Yaya, saya belum mandi…”

Kalimat sederhana itu menancap dalam.
Tak pernah hilang dari ingatan.
Itu adalah detik terakhir aku melihatmu dalam rutinitas kebersamaan.

Tahun-tahun setelahnya adalah ujian sunyi yang tak terbayangkan.
Dari SMP, SLTA, hingga kamu kuliah,
aku tak berada di sisimu.
Tak melihat pertumbuhanmu, tak menemani harimu.
Setiap hari ulang tahunmu hanya bisa kuucap dalam doa.
Setiap keberhasilanmu hanya bisa kutebak lewat cerita orang.
Dan setiap rasa rinduku… hanya bisa kusimpan dalam air mata di atas sajadah.

Betapa sering aku menangis di sepertiga malam,
mengadu pada Tuhan,
bukan untuk meminta agar kau kembali,
tetapi agar kau bahagia.
Agar kau dijaga oleh tangan yang lebih lembut dari tanganku,
yakni tangan Allah yang Maha Mengasihi.

Aku tidak pernah tahu,
apakah di hatimu masih ada ruang untuk mengenangku sebagai ayah.
Tapi aku tahu,
di hatiku tak pernah ada hari tanpa menyebut namamu dalam lirih doa.

Puluhan tahun berlalu.
Takdir mempertemukan kita kembali.

Kau datang bersama adik dan ibumu ke kantor tempatku bekerja.
Wajahmu dewasa, anggun, dan tak asing.
Tapi saat itu, jarak emosional terasa begitu nyata.
Kita saling tatap, saling diam,
dan aku tak tahu harus berkata apa selain menahan air mata.
Bukan karena kecewa…
tapi karena bahagia yang tak bisa dijelaskan.
Aku bisa menatapmu lagi, meskipun hanya sebentar.

Beberapa waktu kemudian, aku hadir di wisudamu.
Dalam pelukan itu, waktu seakan berhenti.
Tapi aku tahu, pelukan tak bisa menggantikan tahun-tahun yang hilang.
Ada banyak cerita yang tak sempat kubacakan,
banyak nasihat yang tak sempat kusampaikan,
dan terlalu banyak hari yang terlewat tanpa kabar darimu.

Tapi dari semua luka,
ada satu hal yang tak pernah kutukar:
aku tidak pernah menyesal mencintaimu.
Tidak pernah.
Meskipun cinta itu harus kutanggung sendiri,
kutitipkan lewat langit,
kukunci dalam doa.

Cintaku sebagai ayah bukanlah cinta yang menuntut,
tapi cinta yang mengantar.
Aku tidak ingin memilikimu…
aku hanya ingin memastikan kamu berjalan ke kehidupan dengan bahagia,
walau aku tak di sampingmu.

Di hari itu, aku memberimu dua nomor HP pribadi.
Aku tahu itu mungkin terlihat sepele,
tapi bagiku, itu seperti membuka pintu yang lama tertutup.
Sebuah undangan tak bersuara dari seorang ayah yang ingin tetap hadir,
meski hanya dalam bentuk pesan singkat.

Tahun berlalu.
Nomormu tak pernah muncul di layar HP-ku.
Tapi aku tak marah. Tak kecewa.
Karena aku percaya,
cinta ayah bukan tentang seberapa sering kau menghubungi,
tapi tentang seberapa besar aku terus berharap,
tanpa mengurangi sedikit pun kasihku padamu.

Catatan ini kutulis,
bukan sebagai keluhan…
melainkan sebagai pelukan.
Pelukan dalam bentuk tulisan,
yang semoga suatu hari kamu baca,
dan kamu tahu…
bahwa seorang ayah,
selalu mencintaimu dengan cara yang paling diam,
paling dalam,
dan paling tulus.

Bersambung…